Hari ini saya terhenyak mendengar cerita seorang kawan, ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap saudara kandungnya, kakak yang dicintainya.
Sang kakak, seorang akhwat yang tekun mengaji, rapat berhijab syar’i, rajin menghadiri majlis-majlis ilmu dan mengenal manhaj salaf. Tapi itu dulu, ketika ia belum menikah dan tersibukkan dengan anak dan suami.
Kini, sang kakak yang justru mengajaknya untuk giat tholabul ‘ilmi dengan pemahaman salaf yang lurus itu.. telah jauh berbeda. Yang dahulunya masih datang ta’lim, kini tidak sama sekali. Mulai terpengaruh lingkungan sekitarnya, yang lelaki -ada dua orang kakaknya- mulai merokok dan celananya pun isbal.
Sedang kakak perempuannya kini menyewakan playstation di rumahnya, bahkan memasukkan anak perempuannya ke sekolah modelling. Ketika si anak ditanya oleh tantenya -kawan saya tadi- ingin jadi apa ketika besar nanti, dengan bangganya ia menjawab,
“Pengen jadi artis!”
Deg..
Sejenak saya tak dapat berkata-kata.
Setelah menguasai perasaan yang tak menentu itu, saya beranikan menghibur perasaan kawan saya -yang saya yakin hatinya jauh lebih hancur dibanding saya.
“Yang sabar ya mbak..mudah-mudahan Allah tetapkan kita untuk istiqomah. Sungguh mempertahankan hidayah lebih sulit ketimbang mendapatkannya…”
Saya coba menguatkannya…
Saya lihat mata kawan saya seperti berkaca-kaca..
“Amiin,” jawabnya.
Tidak sekali kawan saya mendakwahi kedua kakaknya, agar kembali pada jalan yang dulu mereka tempuh bersama. Yang lebih membuat miris, justru merekalah yang mengenalkan kawan saya tadi pada manhaj yang haq ini.
Namun lingkungan, yah.. lingkungan yang membuat hidayah itu sedikit demi sedikit mulai terkikis. Juga kesibukan mengurus rumah tangga dan segala pernak-perniknya, telah membuat mereka lalai..
Saya jadi teringat nasehat seorang ustadz yang memberikan khutbah nikah pada saat saya walimah dulu,
“Ujian sesungguhnya bagi ikhwan ataupun akhawat yang ketika masa lajangnya rajin ta’lim atau giat dalam da’wah adalah setelah menikah. Apakah dengan menikah ia makin terpompa semangatnya karena ada seseorang yang senantiasa mendukungnya dalam ketaatan kepada Allah..
Atau malah makin jarang mendatangi majlis-majlis ilmu, makin malas beribadah karena direpotkan oleh istri dan anaknya, hingga ia makin jauh.. makin jauh.. dan akhirnya terjatuh dalam kefuturan…”
Wal ‘iyadzu billah..
Ya Rabb.. jadikanlah kami hamba-hamba Engkau yang bersyukur telah dianugerahi pendamping berupa seorang suami atau istri.. Betapa tidak bersyukurnya kami jika ni’mat menikah dan berkeluarga justru menjauhkan kami dari ketaatan kepada Engkau. Bahkan mengembalikan kami pada kebodohan, yang dulu kami berkubang di dalamnya.
Hingga Engkau berkenan menunjuki kami dengan cahaya hidayah-Mu. Sebuah nikmat yang sungguh tak ternilai harganya..
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu iman yang tidak akan lepas, nikmat yang tidak akan habis, dan menyertai Muhammad -shalallaahu ‘alaihi wa salam- di Surga yang paling tinggi selama-lamanya.” (Riwayat Ibnu Hibban no.2436, dari Ibnu Mas’ud, shahiih Mawaaridizh Zham-aan no.2065)
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al Furqon: 74)
~ Untuk sahabatku, mari kita jaga hidayah ini. Karena sesungguhnya hidayah ini mahal.
*Originally posted on my Facebook notes, Wednesday, 15 July 2009.
© aisyafra.wordpress.com
[ image source: Pinterest ]
pasang surut kehidupan dan keimanan..asal jangan terus mundur..dan terus mundur..hingga tenggelam dan tak nampak lagi ke permukaan..
btul.. tapi kalo dah nikah mestinya ada pasangan yg ngingetin kalo dah mulai keluar dr rel..itulah gunanya pasangan. begitu kan cita2mu dulu om? *uhuk*
LikeLike
[…] Jakarta saat hujan deras, 8 November 2013.. sekadar pengingat diri agar tak terjebak futur yang […]
LikeLike