“Sesungguhnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan berkata nanti pada hari kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang menjalin persaudaraan karena-Ku, maka pada hari ini Aku akan menaunginya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Ku’.” (Riwayat Muslim )
Sahabat. . .
Ialah orang terdekat kita setelah keluarga yang dipercaya, dicintai dan merupakan bagian penting dalam hidup. Sahabat adalah pelengkap, orang yang paling mengerti kita. Sahabat adalah tempat dimana kita dapat menjadi diri sendiri dengan nyaman dan tanpa penilaian, namun penerimaan. Bersamanya, kita tak perlu berpura-pura menjadi orang lain. Karena seorang sahabat yang baik selalu menerima sahabatnya dalam keadaan apapun.
Sahabat juga selalu ada di saat-saat penting kehidupan kita. Berbagi disaat suka dan setia mendampingi kita dalam duka. Seperti kata pepatah, “mencari teman yang selalu ada kala senang itu mudah, tapi mendapatkan mereka yang selalu ada di sisi ketika susah itu sulit..” dan rasanya itulah yang membedakan makna sahabat dengan teman. Dan tidak ada yang lebih kuat dari persahabatan dan persaudaraan karena Allah Ta’ala.
“… Dan yang ia mencintai saudaranya, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala…” (Muttafaqun ‘alaihi)
Sahabat yang baik tidak berusaha menghakimi perilaku sahabatnya yang ia anggap salah, tapi akan mencoba memahami. Jika ada hal yang tidak disukai dari sahabatnya, ia akan mencari uzur (alasan) dan selalu mengedepankan husnuzhan. Jikalau dirasa perlu, ia akan menanyakan langsung pada sahabatnya tentang apa yang merisaukannya. Dalam hubungan persahabatan, pasti ada riak-riak di dalamnya. Dan itu wajar adanya, karena fitrah manusia itu sering berselisih. Ya, karena mereka memang berbeda.
Umar bin Khattab Radliyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah kalian berprasangka buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari saudaramu, sementara memungkinkan bagimu untuk membawa kalimat tersebut ke arah kebaikan.” (Riwayat Ahmad, Az-Zuhd)
Bila ada kesalahpahaman, segera luruskan. Bicara dari hati ke hati, bila perlu peluklah sahabat kita.. Jangan biarkan pertalian yang lama terjalin menjadi retak, hanya karena ego salah satu diantara kita. Salinglah meminta dan memberi maaf, karena boleh jadi kita telah menyakiti sahabat kita tanpa sadar.
Bila disikapi dengan bijak, sesungguhnya perselisihan bisa membuat kita lebih mengenal siapa sahabat kita sesungguhnya. Apa yang ia sukai, hal macam apa yang menyinggung perasaannya dan seterusnya. Kita jadi lebih bisa menghindari hal-hal yang tidak disukainya. Adanya perselisihan merupakan proses pendewasaan jalinan persahabatan.
Andaikata berselisih, sahabat sejati akan tetap amanah menjaga rahasia-rahasia sahabatnya. Tak akan ia mengumbar aib dan menjelekkan sahabatnya demi kepuasan pribadinya.
“Bukanlah orang yang mulia yang jika bersalah sahabatnya, diapun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui.
Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya, tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak. ” (Lihat Adabul ‘Isyrah, hal. 33)
Sahabat yang baik tidak menaruh hasad atau dengki terhadap sahabatnya, apalagi sampai berusaha menjatuhkannya. Kalaupun sahabatnya memiliki kelebihan yang tidak dimilikinya, ia akan berusaha mengejar ketinggalannya dengan cara yang benar, bukan berharap agar kelebihan sahabatnya itu hilang dan berpindah padanya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
” Janganlah saling mendengki, saling menipu , saling membenci, saling membelakangi dan janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah kalian hamba-hmba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah bersaudara bagi muslim lainnya. Ia tidak patut menzalimi, membohongi dan merendahkannya. Takwa itu disini (beliau menunjukkan dadanya tiga kali). Cukuplah seorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Darah, harta dan kehormatan setiap muslim adalah haram bagi muslim yang lain.” (Riwayat Muslim)
Sahabat juga bisa dibilang cerminan diri kita. Siapa sahabat kita, seperti itulah kita. Karena sudah pada fitrahnya manusia berkumpul dengan manusia lain yang memiliki kecenderungan yang sama.
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain.” (Riwayat Ath Thabrani dari Anas Radhiyallaahu ‘anhu)
Selain sebagai cerminan diri kita, sahabat juga bisa menjadi ‘cermin’ yang memantulkan bayangan kita. Darinya kita dapat berkaca, darinya kita dapat mengetahui siapa dan bagaimana sejatinya diri kita. Kadang darinya kita melihat apa yang tidak kita lihat, dari diri kita.
Sahabat yang baik akan selalu memaafkan kesalahan sahabatnya dan menerima alasan atas kekeliruan sahabatnya. Ia tidak akan terus-menerus fokus pada kekurangan sahabatnya, hingga melupakan semua kebaikan-kebaikannya..
Engkau katakan kepada dirimu:
“Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku. Ia salah kepadaku kali ini. Ia telah menghinaku dengan perkataannya -baik di hadapanmu atau dibelakangmu-, namun lihatlah kebaikan-kebaikannya.” Ingatlah bagaimana ia telah bergaul denganmu secara baik. Ingatlah persahabatannya yang sejati selama bertahun-tahun silam denganmu atau pada kondisi-kondisi yang lampau. Engkau membesar-besarkan kebaikannya dan meremehkan kesalahannya, sehingga tetap terjalin tali persaudaraan di antara kalian, dan cinta kasih yang telah lama terjalin tidak terputus. ” (Ustadz Firanda Andirja Hafizhahullah)
Sahabat yang baik senantiasa menginginkan kebaikan bagi sahabatnya. Kebaikan yang hakiki, kebaikan yang standarnya adalah baik di mata Allah dan Rasul-Nya. Ia tidak akan segan mengingatkan dengan penuh hikmah ketika sahabatnya lupa atau khilaf. Karena apa? Karena ia mencintainya. Karena ia tidak akan membiarkan orang yang dicintainya tergelincir dalam kesalahan. Lagi dan lagi.
”Tidaklah dua orang yang saling mencintai karena Allah kemudian keduanya dipisahkan dari persaudaraan melainkan karena dosa yang diperbuat oleh salah satu dari keduanya.” (Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad, Shahih)
Walau terasa pahit, nasihat tulus dari seorang sahabat yang mencintai kita jauh lebih berharga dari sanjungan dan pujian orang lain yang boleh jadi penuh kepalsuan.
“Tidak ada kebaikan pada suatu kaum yang tidak menegakkan nasehat dan tidak mencintai orang- orang yang memberikan nasehat.” (Mawa’izhus Shahabah karya Shalih Ahmad Asy-Syami)
Seorang sahabat sejati, amat mahal harganya. Uang sekalipun tidak dapat membelinya. Ia begitu berharga dalam hidup ini. Selamanya kita membutuhkannya. Ia adalah cermin kita, yang memantulkan bayangan sejati kita, dari masa ke masa.
Waktu akan menguji siapa sahabat kita sebenarnya. Yang tetap bertahan dalam segala keadaan. Yang setia mendo’akan keistiqomahan untuk yang dicinta. Yang hatinya selalu tertaut walau jarak memisahkan.
Dialah sahabat sejati. Bila telah mendapatkannya, hati-hatilah menjaganya. Karena ia begitu berharga….
“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang- orang yang beriman), walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah Telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. “ (Surat al-Anfal: 62 dan 63).
~ on a rainy day of January 2012, truly dedicated to my bestest friends fillah, how thankful I am to have you in my life. I miss you so..
[image source: FlickR]
Menyentuh bangeeettz……???? ;(
jadi semangat nih,, memperbaiki tali persaudaraan aku dan dia.. 🙂 ( ikha U harus bca artikel ni 🙂 ) eh ya,, sekalian mau aku share ya kak? Hehe maaf kepanjangan…
LikeLike
Silakan Ega.. Semoga bermanfaat ^^
LikeLike