“Hidup tanpa TV? Mungkin nggak sih?”
Pertanyaan itu pernah terlintas dalam pikiran saya, beberapa waktu lalu. Ya, tepatnya lima tahun silam. Ketika itu saya dan suami (dulu masih calon) tengah membuat kesepakatan tentang hal-hal penting yang berhubungan dengan kehidupan pernikahan.
Setelah berdiskusi dan menimbang manfaat dan mudharatnya, bismillah.. akhirnya kami sepakat untuk memulai hidup baru tanpa TV setelah menikah nanti. Setelah hidup bertahun-tahun ditemani si kotak ajaib, just wondering..
“Bisa nggak ya?”
Setelah menikah, ketika suami sedang kerja.. terasa betul kesepian itu. Belum ada anak pula (saat itu sedang hamil anak pertama). Jauh dari keluarga. Tak ada TV, tak ada internet, yang ada cuma radio.. Dan suaranya kresek-kresek pula, cuma bisa menangkap beberapa channel saja.
Jadilah buku dan majalah.. teman terbaik saya, udah habis dibaca.. dibaca lagi. Begitu terus sampai bosan. Sampai kadang suami merasa kasihan, takut saya jenuh katanya π
Tentu saja godaan untuk memiliki TV itu ada. Apalagi tetangga sebelah sering menyetel TV, dan darinya lah saya tahu perkembangan berita terbaru. Kesannya benar-benar out of civilization ya? Hahaha..
Tapi, kami selalu meyakinkan satu sama lain that we’ll get through this. Insya Allah bisa. Berusaha untuk patuh pada komitmen yang telah dibuat.
Biidznillah beberapa bulan kemudian kami diberi rezeki sebuah radio. Kali ini yang agak bagusan, merek terkenal pula. Dan yang paling bikin saya senang, radio Rodja , radio dakwah kesukaan saya bisa ditangkap dengan baik dan lumayan jernih. Alhamdulillah.. Nambah ilmu sekaligus mengusir rasa bosan.
Setahun kemudian, hadir seperangkat komputer di rumah kami. Suami sering mendownload kajian di internet kemudian disetel di komputer. Walau tanpa koneksi internet, tapi alhamdulillah sangat bermanfaat. Bisa nyetel vcd dan mp3 kajian juga. Yah kadang-kadang buat main game juga sih.. *ngaku π
Kemudian datanglah masa itu.. IMR alias Internet Masuk Rumah, hehe. Saya yang waktu itu baru punya bayi, merasakan sekali manfaat internet. Browsing segala sesuatu yang berhubungan dengan pernak-pernik si kecil, dari mulai artikel kesehatan sampai hunting variasi resep MPASI.
Mulai akrab pula dengan yang namanya e-book. Download-download. Waktu itu belum kenal socmed. Ada juga socmed dari jaman Abege yaitu FS alias Friendster . Eaaaa… Apa kabar teman-teman FS? :))
Then welcome Facebook and friends. Mulai nge-blog juga.. Tulisan yang tadinya cuma disimpan di jurnal harian, bisa saya bagi ke teman-teman semua lewat dunia maya. Mulai kenal orang-orang baru, hal-hal baru, informasi yang serba up to date.
Alhamdulillah, terasa sangat manfaatnya.
Dan akhirnya.. setelah hampir lima tahun hidup tanpa TV akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan tadi. Ya, lima tahun, dan saya masih tetap survive . Tak lagi tergoda apalagi ketinggalan informasi. Jujur saja saya katakan, hidup ini terasa lebih tenang tanpa TV .
Alhamdulillah.
Kadang-kadang saja saya menonton TV, ketika main ke rumah orang tua. Itupun cuma sekilas saja pas ada berita menarik. Entah kenapa, melihat tayangan di TV yang akhir-akhir ini makin parah saja, sungguh bersyukur saya tak punya benda itu di rumah.
Pernah tak sengaja saya lihat iklan yang pemerannya pakai baju minim, bahkan nyaris seperti lingerie, berlenggak-lenggok dengan suara dibuat-buat, tayang di jam prime time. Gemes rasanya.
Pernah juga selintas lihat tayangan yang memuat konten khusus ‘suami-istri’, walau tidak full tapi cukup vulgar. Lagi-lagi di jam tayang utama, bahkan mendekati waktu adzan Maghrib. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un. Musibah.
Belum lagi sinetron yang menampilkan hidup full hedonisme , penuh drama dan jauh dari tuntunan syar’i. Membuat pemirsanya tak lagi menjejak pada realita. Tenggelam dalam khayalan dunia serba sempurna.
Mengenalkan masyarakat kita pada budaya permisif terhadap kemungkaran dan kemaksiatan. Dan tak sedikit dari kita yang berkiblat pada artis dan selebriti yang sering wara-wiri di TV.
“Eh artis itu aja nggak pa-pa kok pake jilbab sambil pacaran, kan pacaran Islami..”.
“Ya udahlah, biarin aja hamil di luar nikah, yang penting kan nggak diaborsi..”
Astaghfirullah..
Lupakah kita bahwa misi utama musuh-musuh Islam bukan membawa kita kepada ajaran mereka, namun menjauhkan kita dari agama yang haq ini. Dan ketika nilai-nilai itu mulai luntur, yang salah sekalipun bisa dianggap benar.
Bagaimana mungkin kita mengontrol apa yang kita dan anak kita lihat di televisi? Jika mungkin secara tak sengaja menemukan yang semacam itu di internet bisa kita skip atau forward, bagaimana dengan TV? Yang bisa dipastikan isi tayangannya hampir full kekerasan dan pornografi? Bahkan iklannya pun.
Di sana seperti tak ada batas, antara benar dan salah. Apa yang kita lihat, seringkali itulah yang kita anggap benar. Apalagi anak-anak yang masih polos dan membutuhkan figur untuk dijadikan contoh.
Di rumah, saya bisa mengatur jadwal dan memonitor apa saja yang anak-anak tonton di rumah. Tayangan yang berbau kekerasan, mistis, ajaran menyesatkan atau pornografi berusaha saya jauhkan sebisa mungkin dari mereka. Mulai mengenalkan mereka pada asyiknya membaca buku, bermain di luar dan mentadabburi alam dan ciptaan Allah lainnya.
Insya Allah lebih mengasah kreatifitas dan mengembangkan bakat terpendam mereka.
Sebenarnya media, apapun bentuknya, seperti pisau bermata dua . Bisa memberi manfaat tapi bisa juga sebaliknya. Internet pun bisa jadi sumber bencana jika tidak digunakan dengan bijak. Apapun ada di internet, hanya butuh beberapa ‘klik’ saja, sampailah kita. Tapi, tidak semua yang kita dengar itu benar,kan? Apalagi media zaman sekarang, tak bisa dijamin kebenarannya.
Karena kadang media itu juga punya kepentingan tertentu, seperti pak Jamil Azzaini bilang:
“Sekarang amat sulit menemukan berita yang obyektif, amat tergantung kepentingan yang punya media.”
Teliti menyaring informasi, bijak mengatur waktu dan selalu bersikap skeptis. Apa yang tersaji di internet bukan jaminan kebenaran. Tapi setidaknya, menurut saya yang awam ini, mudharat TV jauh lebih besar dibandingkan internet. Karena saya sudah merasakan punya keduanya.
Namun mungkin yang perlu diingat.. jangan sampai kita cuma pindah ‘perahu’ aja. Dari kecanduan TV jadi kecanduan internet. Sama aja, dong. Pengingat buat saya nih, yang sudah merasakan asyiknya ber-internet ria π
Artikel lain tentang pengaruh nonton TV pada anak-anak bisa dilihat di sini .
~ Terinspirasi dari obrolan dengan kawan di twitter pagi tadi tentang #BahayaTV .Β Semoga Allah senantiasa menganugerahkan keluarga kita dengan furqan (pembeda), antara yang haq dan bathil.
Β© aisyafra.wordpress.com
[ image source: Google ]
bismillaah mba, masyaa’Allah bisa ya mba? smoga kami bisa juga yaa mba, mohon do’anya… insyaa’ Allaah aamiin
LikeLike
Insya Allah bisa mbak, adik ana udah berhasil lepas dari TV. Padahal tadinya nggak bisa kalo sehari nggak nonton. Kuncinya komitmen dengan anggota keluarga, kedisiplinan, dan do’a mohon diistiqomahkan. Selebihnya cuma masalah kebiasaan aja. Semoga Allah mudahkan.. π
LikeLike
semoga makin banyak yg dijauhkan dari pengaruh si kotak ajaib ini. atau akan ada channels yg kontenx syar’i. fyi: dosen2 saya di jurusan kom ugm bnyak yg gk punya tv juga. bahkan di klas sering kampanye turn off your tv. padahal gk blajar islam loh. cuma krn nyadar aja siaran tv di negeri kita memang tdk layak dikonsumsi.
salam kenal, ukh. π
~~ummu rumman ella~~
LikeLike
Alhamdulillah, bahkan mereka yang awam masalah agamapun mulai aware dan mengkampanyekan bahaya dan pengaruh TV ya. Secara dunia saja banyak mudharatnya, apalagi akhirat. Ada sih yang syar’i seperti insan tv atau yufid tv, tapi nampaknya belum banyak yang tahu. Syukron sharingnya ukht, salam kenal juga π
~ meutya ummu harits ~
LikeLike
Ass. Wr. Wb. Apa kabar mba Meutya, terima kasih atas bantuannya tempo hari ya… Subhanallah mba, saya juga khawatir dengan akibat yang ditimbulkan oleh TV, tetapi sulit mengontrol anak-anak karena kami berdua bekerja. Kalau saya di rumah sedapat mungkin saya bimbing anak saya untuk mengganti channel yang kurang pas untuk anak-anak… Mdh2an kami bisa seperti mba Meutya ya… Wass.
LikeLike
Wa’alaykumussalam mbak, sama-sama.. Mudah-mudahan lancar tugas penelitiannya π
Ya pelan2 dan bertahap aja mbak, agak susah memang merubah kebiasaan. Tapi kalo sudah terbiasa, insya Allah merasakan manfaatnya. Sambil sedapat mungkin pengaruh buruk itu diminimalisir, sesuai kesiapan mbak dan keluarga.
Salam buat keluarga…
LikeLike
Reblogged this on Dani Notes.
LikeLike
TV itu iklan tok isinya, kalaupun ada acara mayoritas acara komedi yang mengejek ngejek, selain itu tayangan tv nggak bisa diatur sendiri seperti internet, mending internetan daripada nonton tv, tanpa tv juga mengurangi frekuensi melihat iklan dan kocakan yang nggak bermutu
LikeLike
Agree with you!
LikeLike
daridulu tuh pengen banget deh hidup tanpa tv, selain karena mumet sama acara-acaranya, juga karena ga produktif aja. ga kebayang deh kak Meut dulu pas belum punya anak pasti produktif banget tuh sampe buku yang udah abis dibaca akhirnya dibaca ulang.
soalnya problem selama ini kan gitu, udah nyetok buku bacaan, eh ke-distrak sama tv lah, hp lah, tapi yang paling bikin boros waktu memang tv. huft,
LikeLike
iya, lebih baik baca buku.. atau keluar rumah bertualang..
TV banyak mudharatnya, sangat banyak.. terutama bagi yang udah punya anak.. bahaya π¦
aku sampek bosen, udah kelar baca eh baca lagi krn ga ada lg yg blm dibaca π
LikeLike