Ya, aku memang mencintainya.
Aku mencintainya mengalahkan cinta seseorang kepada kekasihnya.
Bahkan manakah cinta orang-orang yang jatuh cinta dibanding cintaku ini?!
Ya, aku mencintainya. Bahkan demi Alloh, aku merindukannya.
Aku merasakan sentuhannya yang lembut, menyentuh relung hatiku.
Aku tidak mendengarnya melainkan rinduku seakan terbang ke langit, lalu hatiku menari-nari dan jiwaku menjadi tentram.
Aku mencintaimu duhai perkataan yang baik.
Aku mencintaimu duhai perkataan yang lembut.
Aku mencintaimu duhai perkataan yang santun.
Alangkah indahnya ketika seorang anak mencium tangan ibunya seraya berkata,
“Semoga Alloh menjagamu ibu.”
Alangkah eloknya ketika seorang ayah senantiasa mendo’akan anaknya,
“Ya Alloh, ridhoilah mereka, dan bahagiakan mereka di dunia dan akhirat.”
Alangkah bagusnya ketika seorang istri menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman seraya berkata,
“Semoga Alloh tidak menjauhkan kami darimu, rumah ini serasa gelap tanpa dirimu.”
Alangkah baiknya ketika istri melepaskan kepergian suami bekerja di pagi hari, ia berkata,
“Jangan beri kami makan dari yang haram, kami tidak sanggup memakannya.”
Kalimat dan ungkapan yang indah, bukankah begitu?
Bukankah kita berharap kalimat dan ungkapan seperti ini dikatakan kepada kita?
Bukankah setiap kita berangan-angan mengatakan kalimat-kalimat seperti ini kepada orang-orang yang dicintainya?
Akan tetapi kenapa kita tidak atau jarang mendengarnya?
Penyebabnya adalah kebiasaan. Barangsiapa yang membiasakan lisannya mengucapkan kata-kata yang lembut berat baginya untuk meninggalkannya, begitu pula sebaliknya.
Orang yang terbiasa memanggil istrinya dengan kata “kekasihku” sulit baginya memanggil istrinya seperti sebagian orang memanggil istrinya,
“Hei.. hai..” atau “Kau..” dan sebagainya.
Barangsiapa yang terbiasa memulai ucapannya kepada anaknya, “Ananda, Anakku, Putriku”
Tidak seperti sebagian lain mengatakan, “Bongak… Jahat… Setan!”
Maka ia berat mengucapkan selain itu.
Kenapa kita tidak bisa mengucapkan satu ungkapan cinta saja..
Kepada anak-anak kita, ibu kita, dan keluarga kita?
Jika adapun kalimat tersebut keluar dengan malu-malu.
Kenapa lisanmu terkunci di dekat istrimu atau dihadapan ayah dan ibumu, sedangkan dihadapan temanmu, kata-katamu begitu mesra?!
Biasakanlah -misalnya- mengucapkan kepada ibumu,
“Ibu, do’akan kami. Apakah ibu ingin titip sesuatu agar ananda beli sebelum ananda berangkat?”
Biasakanlah mengucapkan kepada anakmu kata-kata (sayangku, anakku), dan apabila ia mengambilkan sesuatu untukmu seperti segelas air katakan kepadanya
“Jazakallohu khoiron” atau “Terima kasih”
Jika putra atau putrimu meminta sesuatu darimu dan engkau sanggup memberikannya serta itu baik untuknya katakanlah kepada mereka dengan tulus,
“Dengan sepenuh hati ayah akan bawakan untukmu.”
Carilah kata-kata dan kalimat yang lembut dan senyuman yang manis, lalu lihatlah hasilnya!
Lihatlah bagaimana Nabi kita Shollallohu ‘alaihi wa sallama berbicara kepada anak istrinya.
Perhatikanlah kelembutan hatinya, serta keindahan tutur katanya.
Beliaulah sebaik-baik suri teladan…
~ Ustadz Abu Zubair Hawaary, Lc.
©aisyafra.wordpress.com
[ image source: Tumblr ]
Reblogged this on Dani Notes.
LikeLike
Reblogged this on Sapa Mentari and commented:
love it also
LikeLike
Ijin share y kak..?? untuk yg ini dan selanjutnya… 🙂
LikeLike
Silakan, Ega. Semoga bermanfaat 🙂
LikeLike
Iya kak.. Inshaa Allah… 🙂
LikeLike