Wanita Bekerja, Ibu Rumah Tangga dan Aktualisasi Diri

the blessings..

Semalam di grup WhatsApp,  seorang kawan bercerita tentang mimpinya. Mimpi yang sederhana saja, mimpi untuk menjadi seorang Ibu Rumah Tangga.

“I just want to be a pious wife and mom.. Ga lebih dari itu.. Ga pingin kerja kantoran..”

Jujur saja saya merasa salut. Mungkin jika yang berkata begitu seseorang seperti saya yang tak punya titel, akan biasa saja rasanya. Tapi kawan saya ini menempuh pendidikannya di luar negri, dengan jurusan yang tidak biasa pula bagi perempuan sepertinya.

Saya sering melihat wanita yang bertitel dan ingin segera mengaplikasikan keahliannya dengan bekerja di luar rumah. Tapi tidak dengan kawan-kawan saya ini. Mereka dengan titel yang berderet dan membanggakan, justru memilih untuk mengabdikan diri di rumah.

Tak sedikit cibiran orang ketika kawan-kawan saya itu memutuskan untuk menjadi Ibu Rumah Tangga.

“Sayang ya kuliah tinggi tinggi, ke luar negeri lagi.. Ujung-ujungnya cuma diem di rumah.. Sayang ilmunya.. ”  ujar mereka dengan nada menyesalkan.

Padahal jika dicermati, ilmu yang mereka pelajari dulu di bangku kuliah tidaklah sia-sia. Dengan ilmu itu mereka mendidik anak-anak mereka, mengatur rumah tangga mereka, bahkan banyak yang bekerja dengan keahlian yang mereka punyai dari rumah. Sebagai seorang pekerja lepas alias freelancer.

Perempuan mesti menuntut dirinya agar pandai. Ia rumah bagi suaminya, sekolah bagi anak-anaknya dan teladan bagi kaumnya..

Coba bayangkan.. Tetap di rumah, tanpa keluar dari fitrah, lebih terjaga dari fitnah tapi tetap menghasilkan. Enak banget kan? Tak mesti berjubel dengan ratusan orang ketika menuju kantor. Tak mesti berjibaku dengan kemacetan dan stress di jalan, hingga akhirnya pulang ke rumah dalam keadaan lelah.

Apalagi jika suami sudah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, apa lagi yang dicari? Teringat obrolan saya dengan suami belum lama ini, ketika saya meminta izin beliau untuk aktif menerima jahitan seperti waktu masih single dulu.

“Aa seneng Neng mau kerja, apalagi bisa bantu-bantu menghasilkan. Tapi sekarang lebih baik Neng fokus aja sama anak-anak, pendidikan mereka, apalagi gak lama lagi anak ketiga kita lahir. Biar urusan pemasukan keuangan Aa yang handle.”  jawab beliau.

Sejujurnya, bekerja dan menghasilkan sesuatu.. it’s not all about money. Bukan hanya masalah uang.

Bagi saya pekerjaan saya adalah wadah aktualisasi diri. Ketika tenggelam dalam tumpukan bahan-bahan, benang dan jarum, bahkan ketika dikejar deadline  sekalipun, ada kepuasan yang tidak terjelaskan. Inilah dunia saya.

Di sini saya bisa sepenuhnya mengaplikasikan ilmu yang saya punya, mengerjakan sesuatu yang saya sukai, juga memberi manfaat untuk orang lain.

Tapi kembali kepada komitmen awal sebelum menikah, ketika saya meminta pandangannya tentang bekerja di rumah setelah menikah. Beliau mengiyakan dengan syarat, tidak sampai melalaikan kewajiban saya sebagai istri dan ibu. Jadi saya sadar, kewajiban sekaligus tanggung jawab utama saya adalah mengurus rumah, suami dan anak-anak.

Dan saya akan dimintai pertanggungjawaban mengenai itu di hadapan Allah kelak. Selebihnya hanya sampingan saja. Jika kewajiban utama sudah selesai, baru yang sampingan itu saya kerjakan.

Sungguh saya bersyukur menjadi seorang muslimah. Yang dipelihara hak-haknya oleh Islam, yang dihormati dengan kewajiban mengenakan Hijab. Yang dimuliakan dengan penjagaan seorang suami yang tak rela kecantikan istrinya dinikmati oleh mereka yang tidak berhak.

Sungguh Islam telah memuliakan kita sebagai seorang wanita. Sebagai permata yang tinggi nilainya. Adakah agama lain yang menjunjung tinggi kedudukan wanita sebagai seorang istri, ibu dan anak, seperti halnya Islam?

Teringat sebuah nasehat yang indah dari Ustadz Zainal Abidin Syamsudin Hafizhahullah ketika ditanya tentang wanita bekerja di luar rumah:

“Ustadz, kenapa wanita tidak boleh bekerja di luar rumah?”

Beliau menjawab :

“Ibu kuliah S-1 itu untuk siapa? Untuk anak sendiri atau untuk anak orang lain? Kan aneh kalau S-1 itu untuk anak orang lain. Tetapi anak Ibu di rumah didik oleh tamatan SD. Apakah ada pembantu yang tamatan S-1..?”

(Diantara faedah “Bagaimana Menjadi Isteri Shalehah” oleh Ustadz Zainal Abidin Syamsudin Hafizhahullah)

Benar yang disampaikan Ustadz, lucu dan aneh bila kuliah S-1, S-2, bahkan S-3 tetapi yang menikmatinya orang lain atau anak orang lain, sedang anaknya diasuh,dirawat dan dididik oleh para pembantu…

“Tegakah engkau wahai saudariku?

Bukankah anak adalah investasi berharga dunia dan  akhirat bagi kedua orang tuanya?

Sungguh, harta dan karir yang engkau cari di luar  sana, masih banyak yang bisa mengunggulimu, namun keberadaanmu di rumah, mendampingi mereka, merawat mendidik dan memperhatikan tumbuh kembangnya setiap saat, tiada yang bisa  sebagus dirimu…”

wanita bekerja di luar rumah..

~ Jakarta, pagi, hujan rintik-rintik dan secangkir kopi.. And, yes I’m proud of being a full time mom, alhamdulillaah..

© aisyafra.wordpress.com

[ image source: Whatsapp Group – Ashdiqoo’iy min Twitter ]

Advertisement

41 thoughts on “Wanita Bekerja, Ibu Rumah Tangga dan Aktualisasi Diri

  1. Alhamdulillah mbak malah di dukung untuk bisa di rumah, justru saya tidak ada yang mendukung dari ortu maupun suami dan susah sekali menjelaskan bahwa anak sangat butuh ibunya dalam pertumbuhan dan pendidikannya. sepertinya paradigma seorang ibu sudah sangat bergeser di masyarakat, justru menjadi Ibu RT yang adalah pekerjaan mulia malah jadi cemoohan 😦

    Like

  2. Kalo dia sudah berpendidikan minimal S2 setidaknya sudah bisa menjalani semuanya.. baik sebagai ibu rumah tangga, aktif di akademik maupun mencari nafkah untuk diri sndiri.. semua bisa diatur dengan baik.. tidak harus meninggalkan dan merendahkan salah satunya..

    Like

    • Islam tidak pernah melarang wanita mencari nafkah untuk dirinya, namun begitu ada syarat2 yang harus dipenuhi. Mengenai hal ini pernah saya posting disini -> Bila Wanita Bekerja di Luar Rumah

      Bagus sekali jika seorang wanita dapat mengatur waktu dan menjalani semuanya dengan seimbang tanpa ada yang dikorbankan. Tapi sangat sulit, saya rasa. Apalagi jika pekerjaannya mengharuskannya meninggalkan rumah setiap hari. Bukankah sebaik-baik tempat bagi seorang wanita adalah di rumahnya?

      Like

  3. Reblogged this on ekoprima and commented:
    “Ibu kuliah S-1 itu untuk siapa? Untuk anak sendiri atau untuk anak orang lain? Kan aneh kalau S-1 itu untuk anak orang lain. Tetapi anak Ibu di rumah didik oleh tamatan SD. Apakah ada pembantu yang tamatan S-1..?”

    Like

  4. Seperti kata suami saya “aku mau anak-anakku nanti dididik oleh ibu dengan pendidikan tinggi, alumni sekolah favorit.”

    Insya Allah bila Allah mengkaruniai anak nanti, akan saya perjuangkan untuk resign dari kerja kantoran yg saya jalani skrg. Agak susah tampaknya karena orang tua tidak mendukung saya jadi ibu rumah tangga full time. 🙂

    Like

  5. Astaghfirullaah. Hanya itu yang bisa saya katakan. Saya seorang ibu bekerja. Monday to Friday. From 8 to 5. Selama ini anak saya tinggalkan dengan babysitter. Sampai saat ini saya masih memberikan hak anak saya, ASI dan MPASI rumahan. Saya juga mengerti Mbak, bahwa perempuan itu kewajibannya utamanya adalah mengurus rumah tangga. Suami pun tahu itu. Tetapi beliau belum mampu mengamalkannya secara penuh, dalam artian masih membutuhkan bantuan istri untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Saya juga sebenarnya jauh lebih ingin di rumah saja, benar-benar fokus mengurus anak dan rumah tangga. Sama sekali tidak merasa sayang dengan pendidikan dan pekerjaan yang sudah saya jalani. Tapi bukankah saya sebagai istri juga harus mematuhi suami? Ketika suami belum mengizinkan saya berhenti bekerja, berarti saya juga tetap harus bekerja bukan? Apalagi suami khawatir jika nanti masalah finansial menjadi masalah baru dalam rumah tangga kami. Menurut Mbak bagaimana ya, karena saya selalu didera perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi hak anak saya mendapatkan pendidikan dan pengasuhan utama dari ibunya.

    Like

    • Saya turut memahami dilema yang dialami oleh Mbak Rizki, memang kondisi tiap orang berbeda-beda satu dan lainnya, tidak bisa digeneralisir begitu saja. Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya, bila memang belum bisa berhenti bekerja karena suatu sebab yang jika dipaksakan untuk berhenti malah timbul mudharat, sebaiknya dipikirkan ulang lagi mbak.. Atau mungkin mbak Rizki bisa mencari pekerjaan lain yang dilakukan dari rumah sehingga tidak perlu meninggalkan anak dengan pengasuh. Dari apa yang saya ketahui, istri wajib taat pada suami hanya selama perintah suami tsb tidak bertentangan dengan syari’at.

      Insya Allah mbak Rizki lebih mengetahui bagaimana kondisi yang dihadapi ketimbang saya yang hanya orang luar. Semoga Allah memberi jalan keluar terbaik dari permasalahn mbak. Barakallahu fiyk 🙂

      Like

  6. Assalammu’alaikum mba,

    Tulisannya bagus2, ringan namun mampu menyentuh hati.
    Sejak melahirkan anak pertama saya merasa terpanggil utk stay di rumah dan tetap bisa punya penghasilan, Alhamdulillah suami mendukung krn beliau juga ingin isterinya punya banyak waktu dirumah.
    Terus terang awalnya berat, dilema krn saya sudah dibiayai ortu sampai mjd apoteker, saya juga anak pertama darii 4 org adik. Besar harapan ortu agar saya bisa sukses sbg wanita karir, sampai2saya kuatir tidak cukup berbakti / durkhaka pd ortu.
    Namun perlahan saya terus mencoba beri penjelasan kpd ortu, dan saya juga buktikan dg mulai merintis usaha babyshop.
    Alhamdulillah saat ini babyshop inababy semakin berkembang dan insyaallah akan dibuka tokonya bulan oktober. Saya pun sangat bersyukur pd Allah krn akhirnya mama bisa mengerti dan sangat mendukung keputusan saya utk mjd work at home mommy.
    Utk ibu2 lainnya, apapun keputusan dan kondisi yg dijalani saat ini, semoga Allah selalu menaungi dg ridho dan rahmatnya. Terus berjuang dan berdoa, insyaallah akan ada jalannya. Amin.

    Like

    • Wa’alaykumussalam.. Alhamdulillah ya mbak, tidak mudah meyakinkan orang2 di sekitar kita, terutama orang tua kita untuk bisa memahami alasan mengapa kita memilih utk menjadi stay at home mom.

      Betul sekali, setiap wanita dan juga ibu, dihadapkan pada kondisi dan memiliki kemampuan yang berbeda2.. walau sebaik-baik tempat bagi seorang wanita adalah di rumahnya..

      Aamiin allahummaa aamiin 🙂

      Like

  7. Assalamualaikum. Salam kenal mba Meutia
    Senang sekali menemukan blog mba.
    saya mama bekerja yang sangat sangat sangat ingin untuk tinggal di rumah semenjak melahirkan putri pertama saya.
    Selalu ada perasaan bersalah dan sedih tiap kali mau berangkat kerja. Apalagi sekarang anak saya sudah mulai mengerti jika akan ditinggal kerja.
    melihat sy memakai pakaian kerja, pasang kerudung, maka mulai lah dia merengek2 minta digendong, minta main, dsb.
    Di kantor pun sering kepikiran, seandainya saat ini berada di rumah bersama anak, bermain bersamanya, mengajarinya hal-hal baru, membuatkan camilan2 ringan untuknya, dll maka akan terasa berartinya menjadi seorang mama.
    sy juga sering berpikir (dan ini membuat saya merasa berdosa) suatu saat nanti saat sy dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, -mungkin- tidak akan ditanyakan “berapa penghasilanmu selama hidup”, ” apa saja jabatan yg pernah kamu raih?”
    tapi -mungkin- akan ditanyakan “bagaimana caramu mendidik anak-anak yg telah diamanahkan kepadamu?”.

    Saya ingin sekali bisa di rumah, dan melepaskan pekerjaan sekarang. tapi masih begitu banyak kekhawatiran dalam diri saya jika tidak bekerja lagi. terutama masalah financial.
    Salut kepada para ibu yang dengan berani mengambil keputusan untuk fokus di rumah.
    Do’akan juga semoga keinginan saya bisa tercapai suatu saat nanti.

    Salam,

    Like

    • Wa’alaikumusssalam.. salam kenal Mbak Arie..

      Masya Allah, terharu saya baca komentarnya. Mudah2an mbak diberikan jalan keluar terbaik dari semua permasalahan yang dihadapi saat ini. Istikharahlah mbak, minta dimantapkan pada pilihan yang paling tepat..

      “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya..” (ath Thalaq: 2-3)

      Barakallaahu fiiki mbak, semoga Allah memudahkan semua urusan mbak 🙂

      Like

  8. Salam kenal… Senangnya lagi galau dan googling lalu nemuin blog ini, dan penulisnya ibu rumah tangga pula. Mudah mudahan saya bisa ketularan kebaikannya… Thanks mbak.

    Like

  9. assalamualaikum…

    temanya mengena banget…
    dari dulu saya pingin nanti kalau sudah punya anak akan jadi fulltime mom… mengingat dulu waktu kecil sering ditinggal kerja, raport ga ada yang ambilin… dsb…
    akhirnya tidak terlalu dekat dengan orang tua,malah deket sama nenek…
    namun orang tua dari dulu ingin anaknya jadi abdi negara…
    memang skrg saya baru nikah & belum punya baby, maka sekarang masih bekerja di luar…
    semoga nantinya bisa terwujud..

    aamiin…

    Like

  10. salut dg mba
    sebenarnya saya ingin sekali jadi ftm. tp suami sbg abdi gajinya sdh dipotong utk biaya menikah
    saat ini saya bekerja tp di lubuk hati terdalam ingin dirumah saja.
    saya sering mencoba usaha online tp blm berhasil.
    minta doanya ya mba. moga saya cpt resign dan mjd ftm dengan usaha sampingan utk membantu suami

    Like

  11. Ya kalau penghasilan suami lebih jauh diatas rata-rata penghasil kaum laki pada umunya (minimal Rp. 15.000.000/bln) dan bisa tinggal di rumah kawasan elit maka istri jadi ibu rumah tangga memang nggak masalah. Tetapi coba lihat keluarga yang tinggalnya hanya di perumahan kelas bawah (rumah type 45/84, 36/72 apalagi 36/60 atau 27/60) dengan penghasilan suaminya hanya berkisar Rp. 4.000.000/bln yang bisa berabe Mbak. Setelah suami berangkat kerja, kaum ibu banyak ngrumpi dgn tetangga sebelah, bikin tumpengan, makan-makan bersama atau bikin acara-acara yang sebetulnya nggak perlu.

    Like

    • Menurut kacamata saya, cukup dan mencukupinya nominal penghasilan seseorang, sifatnya relatif. Ada yang dengan gaji 1-2 juta sudah merasa tercukupi. Ada juga yang sudah mencapai puluhan juta tapi nggak pernah merasa puas dan cukup.

      Saya kenal beberapa ibu rumah tangga yang hidupnya sederhana, gaji suaminya nggak mencapai belasan juta, tapi mereka cukup bijak dalam mengelola keuangan, dan juga waktu, sehingga aktifitas yang mereka lakukan positif dan bermanfaat. Sesekali ngumpul makan2 sama tetangga dan teman itu sehat, lho. Asal bermuatan positif dan bermanfaat.

      Dan apa sudah jaminan ibu2 kantoran yang bekerja di luar rumah nggak pernah ngrumpi dengan teman sekantornya, bikin tumpengan, makan-makan bersama atau bikin acara-acara yang sebetulnya nggak perlu?

      Choosing to be a housewife is not a trap or prison (especially for me), it is a privilege. Banggalah jadi ibu rumah tangga.

      Like

  12. Assalamualaikum. Salam kenal mbak Meutia
    Ketika saya menuliskan komentar ini pada blog mbak, saya sedang galau di meja kantor. Pandangan saya nanar mencari blog tentang dilema ibu bekerja, dengan harapan saya mendapat motivasi kembali. Saya mendapati blog mbak yang pas sekali dengan saya. Saya adalah seorang istri dan sedang mengandung 14w. Tak lama setelah lulus wisuda Alhamdulilah saya langsung dapat pekerjaan. Semua berjalan baik sampai dengan saya menikah, namun ketika saya mengandung seperti sekarang timbul keinginan untuk menjadi ibu rumah tangga, yang nantinya bisa melihat perkembangan anak dari dia lahir sampai hingga akhirnya bisa mendengarkan celotehannya.
    Sebenarnya dikantor juga banyak ibu yang bekerja sampai meninggalkan anaknya mbak, jam kerja dikantor senin – sabtu, 7- 5, benar-benar waktu seharian habis dikantor. Dan benar kata mbak, setiap orang punya pandangan dan kondisi berbeda, entah bekerja memang butuh atau bangga. Saya pribadi ingin sekali resign dari kantor mbak setelah lahiran nanti.. dilubuk hati saya berkecambuk antara ingin melepas pekerjaan ini dengan rasa khawatir yang teramat. Saya khawatir nantinya keputusan saya malah menambah masalah financial keluarga, yang notabanenya saya dan suami sama-sama berjuang dalam membangun kebutuhan financial dari nol. Oleh sebab itu, walaupun di dalam lubuk hati saya ingin sekali berhenti bekerja namun keadaan yang membuat saya harus kembali bersabar dan berprsangka baik kepada Allah. Doa saya semoga setelah nanti si dedek lahir, ada jalan rezeki lain, hingga bisa sedikit mengurangi beban suami dalam mencari nafkah dan saya bisa berhenti bekerja.. Aamiin

    Liked by 1 person

    • Wa’alaikumussalam mbak Nova..

      Masya Allah, saya terharu baca komentar mbak di atas. Betul mbak, setiap orang, setiap rumah tangga pasti punya pertimbangan masing-masing dalam memutuskan segala sesuatu. Termasuk mengenai perlukah seorang ibu untuk bekerja? Terutama bekerja di luar rumah, ya..

      Semoga Allah memudahkan mbak Nova untuk memilih keputusan terbaik bagi semuanya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.

      Barakallaahu fiikum 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.