Banyak Anak = Banyak Rezeki?

danbo and rain

“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh Dia akan melimpahkan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezeki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi & Ibnu Majah)

Banyak anak, banyak rezeki. Begitu kalimat yang sering saya dengar. Makin banyak jumlah anak artinya makin banyak juga rezeki yang datang dalam sebuah keluarga. Hmmm.. benarkah?

Seorang teman pernah bilang ketika saya iseng bertanya ia ingin punya anak berapa,

“Pengennya sih udah segini aja, nggak usah nambah lagi. Bukan apa-apa, biaya hidup dan sekolah zaman sekarang kan nggak murah..”.

Ada juga yang terang-terangan menyanggah,

“Banyak anak banyak rezeki? Ah, kuno. Itu sih slogannya orang zaman dulu, yang apa-apa masih murah. Lah sekarang, masukin anak ke sekolah aja bisa jutaan, belum biaya hidup yang serba mahal. Realistis aja deh, hari gini punya anak banyak itu nggak gampang..”

Sedikit cerita.. Keluarga saya dari pihak Abi, memiliki banyak saudara. Mbah saya yang menetap di Malang, punya 12 orang anak. Dari 12 orang anak itu, alhamdulillah tidak ada satupun yang terlantar, semuanya bisa hidup secara layak. Ada yang kini jadi dosen, wirausaha, tentara, manajer perusahaan, ibu rumah tangga, guru SD sampai jadi pedagang.

Kalau saya tanya apa tipsnya, Mbah cuma senyum-senyum,

“Ya dijalanin aja. Tiap anak itu kan rezekinya udah ada yang ngatur..”.

“Emangnya nggak repot mbah, punya anak banyak?”  tanya saya lagi, penasaran.

“Punya anak satu repot, punya anak banyak, repot juga. Jadi ya mendingan banyak anak, repot sama capeknya sekalian..”  sahut Mbah sambil tertawa.

Kehadiran Anak Sendiri Adalah Sebuah Rezeki

Pernah ada seorang teman yang baru saja saya kenal main ke rumah, melihat anak-anak yang heboh main kesana kemari, dia nyeletuk,

Enak ya mbak, rumahnya rame.. Seru..”.

“Iya mbak, seru banget. Kalo udah repot atau pada berantem juga seru banget.. Hehe..”  kata saya.

“Eh, beneran enak lho Mbak di rumah banyak anak gini, nggak sepi..”  sahutnya.

“Hehe, alhamdulillah.. Mbaknya sendiri udah berapa putranya?”  saya balik bertanya.

“Qaddarallah belum ada, mbak..”  jawabnya sambil tersenyum.

Padahal dari penuturannya, dia menikah jauh lebih dulu dari saya.

Ternyata, kehadiran anak itu sendiri adalah sebuah rezeki. Sebuah nikmat yang sering lupa untuk kita syukuri. Betapa banyak para calon orang tua yang menantikan hadirnya buah hati di tengah-tengah mereka, namun Allah masih menguji kesabaran mereka dengan menundanya.

Nothing Lasts Forever

Anak-anak juga nggak selamanya kecil terus, kan? Mereka akan tumbuh besar dan dewasa. Dan akhirnya satu persatu pergi meninggalkan kita.

Akan ada saat-saat kita akan merindukan celotehan dan rengekan manja mereka, rumah yang kacau balau mirip kapal pecah atau suasana pagi hari yang hectic dan penuh kerepotan itu.

Ada saatnya dimana hari-hari terasa begitu sepi tanpa kehadiran mereka dan ingin agar kenangan itu terulang kembali..

Dulu.. waktu hamil anak kedua, sempat terselip sedikit kekhawatiran: mampu nggak ya mengurus dua anak yang jaraknya berdekatan?

Saat itu Harits baru berumur 1 tahun 4 bulan. Repot nggak ya, bisa nggak ya? Tapi setelah dijalani, ternyata nggak serepot yang dibayangkan.. Malah Harits senang karena di rumah ada ce-es-an alias teman main. Saya juga senang karena Harits nggak nempel dan manja sama emaknya terus-terusan, jadi bisa ditinggal beres-beres 😀

Anak Bertambah, Rezeki Juga (Insya Allah) Akan Bertambah

Alhamdulillah, setelah kelahiran anak kedua, rezeki kayaknya mah ada aja.. Yang tadinya tidak pernah terpikir untuk terbeli, alhamdulillah dimudahkan untuk jadi milik kami. Memang benar, dengan menikah Allah akan beri kecukupan dari arah yang tidak kita sangka-sangka..

 “Carilah kaya (hidup berkecukupan) dengan menikah.” (Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

 Ustadz Zainal Abidin bin Syamsudin dalam sebuah kajian beliau tentang pernikahan pernah bilang (kurang lebih seperti ini),

“Antum tau nggak, nikah itu bikin kaya lho. Mau bukti? Sebelum nikah antum nggak punya apa-apa, paling barang-barang pribadi, atau kalau punya biasanya banyaknya cuma satu biji. Tapi kalo udah nikah, jadi punya macem-macem.. Yang tadinya nggak punya tempat tidur, jadi punya. Yang tadinya bantal gulingnya cuma satu jadi dua, apalagi kalau udah ada anak. Yang dulu nggak punya perabot, nggak punya piring, sendok, sekarang punya, malah nambah.. Yang tadinya nggak punya rumah, jadi punya,alhamdulillah. Gimana nggak kaya coba?”

Masya Allah.. Iya juga sih 😀

Saya percaya bahwa tiap anak sudah ditetapkan rezekinya, jauh sebelum ruh mereka ditiupkan ke dunia. Anak bertambah, artinya tanggungjawab juga ikut bertambah. Para ayah dituntut untuk ekstra giat dalam mencari nafkah, para ibu dituntut untuk lebih bersabar dan telaten dalam merawat dan mendidik anak-anaknya.

Tiap anak hadir dengan membawa takdir rezekinya masing-masing, tapi bukan berarti sebagai orang tua kita hanya berpangku tangan menanti rezeki itu datang. Jemputlah rezeki itu dengan berbagai cara yang halal.

Insya Allah akan selalu ada jalan bagi hamba-hambaNya yang bekerja dan berusaha demi menafkahi keluarganya, seperti sabda Rasulullah..

“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya bahkan sampai satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR. Muslim)

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)

Dan yang namanya rezeki tidak hanya berupa materi, bukan? Kesehatan, kelapangan hati, rasa cukup dengan apa yang ada, keluarga yang bahagia, anak-anak yang shalih dan menyejukkan mata, juga adalah bentuk lain dari rezeki yang sering luput untuk kita syukuri.

Memang benar, biaya hidup zaman sekarang tidak bisa terbilang murah. Tapi bukan berarti tidak terjangkau, kan? Kembali lagi pada kondisi masing-masing keluarga, karena mahal dan murah bagi tiap orang itu sifatnya relatif. Kadang malah mereka yang pendapatannya pas-pasan, bisa menyekolahkan anak sampai ke bangku kuliah.

Dulu saya pernah punya tetangga yang bekerja sebagai penjahit rumahan. Beliau ditinggal suaminya entah kemana sejak anak-anaknya masih kecil. Dengan penghasilan yang tidak menentu sebagai penjahit, beliau membesarkan kedua anaknya seorang diri.

Alhamdulillah, dengan izin Allah beliau mampu mengantarkan anaknya meraih gelar sarjana, bahkan anak sulungnya kini mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di luar negeri. Kalau dihitung dengan matematika ala manusia, kayaknya sulit dipercaya ya..

Menyisihkan sebagian pendapatan untuk dana pendidikan adalah upaya yang patut dicoba. Jadi ketika sudah saatnya anak masuk sekolah nanti, tidak bingung mencari biaya kesana kemari. Alhamdulillah biaya untuk pendidikan anak-anak sudah disiapkan, sejak mereka belum lahir. Insya Allah kalaupun biaya sedikit meleset dari perkiraan atau berbarengan memasukkan mereka ke sekolah sekaligus, tidak terlalu terasa berat.

Tapi semua kembali pada rasa tawakal dan percaya apa yang ada di tangan Allah jauh lebih baik. Boleh jadi kita sudah mernacanakan segala sesuatunya dengan rapi, tapi Allah berkehendak lain. Ikhtiar, do’a, tawakal.

Ya, pandangan kita itu sempit, pengetahuan kita serba terbatas. Perhitungan dan matematika kita tak secanggih perhitungan Allah. Apa yang tidak mungkin menurut kita, bisa sangat mungkin di mata Allah. Stop mencemaskan masa depan secara berlebihan, perbesar rasa tawakal dan terus berikhtiar. Hidup pun akan jauh lebih tenang, insya Allah..

 “Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri, Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-’Ankabuut: 60)

Antara Membatasi Kelahiran dan Mengatur Jarak Kelahiran 

Dari apa yang saya pelajari selama ini (mohon jika salah dikoreksi), Islam tidak membolehkan kita untuk membatasi jumlah anak, karena alasan khawatir tidak dapat membiayai atau mendidik mereka.

Terkecuali ada alasan darurat yang membolehkan, seperti jika seorang wanita hamil lagi, maka akan membahayakan kesehatannya atau kesehatan janin yang dikandungnya. Atau karena alasan lain yang mengandung lebih banyak mudharat dan dibenarkan secara syar’i.

“Adapun jika pendorong melakukannya (membatasi keturunan) adalah kekhawatiran akan susahnya mendidik anak, maka ini adalah (persangkaan) yang keliru, karena betapa banyak (kita dapati) anak yang sedikit jumlahnya tapi sangat menyusahkan (orang tua mereka) dalam mendidik mereka, dan (sebaliknya) betapa banyak (kita dapati) anak yang jumlahnya banyak tapi sangat mudah untuk dididik jauh melebihi anak yang berjumlah sedikit.” (Ustadz Abdullah Taslim)

Tetapi Islam membolehkan kita untuk mengatur jarak kelahiran, terutama berkaitan dengan pentingnya proses penyusuan selama dua tahun. Misalnya jarak kelahiran antar tiap anak diatur dua tahun-dua tahun. Jadi anak cukup puas mendapat perhatian dan kasih sayang ibunya selama dua tahun pertama kehidupannya.. Tanpa terbagi dengan adiknya yang tentu lebih banyak menyita waktu sang ibu karena masih kecil.

Mengenai perbedaan tentang membatasi kelahiran dan mengatur jarak kelahiran bisa dilihat penjelasannya secara lebih rinci di sini dan di sini.

Bahagianya Memiliki Anak Yang Shalih…

Saya sendiri merupakan sulung dari empat bersaudara, yang semuanya perempuan. Jarak antara saya dan adik-adik lumayan jauh, kecuali adik saya yang pertama, jarak kami hanya sekitar 3 tahun. Suatu hari Ummi pernah berpesan,

“Jangan terlalu sedikit kalo punya anak, enaknya punya banyak anak itu kalo kita udah meninggal, banyak yang do’ain..”

Salah satu manfaat punya banyak anak adalah kelak ketika kita telah meninggal dunia, banyak do’a yang mengalir untuk kita. Karena satu perkara yang tidak terputus setelah kematian adalah anak shalih yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya.

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras untuk membujang dan berkata,

“Nikahilah wanita yang sangat penyayang dan yang mudah beranak banyak karena aku akan berbangga dengan kalian dihadapan para nabi pada hari kiamat ” (HR Ibnu Hibban 9/338)

Ya, memiliki anak, terutama banyak anak memang repot dan tidak mudah. Ada yang bilang, kalau nggak mau repot ya jangan punya anak. Punya anak ya harus siap repot, siap stress, siap capek, siap berkorban. Nothing ventured, so nothing gained.

Tapi segala kerepotan dan pengorbanan itu seperti terbayar ketika kehadiran mereka memberi warna tersendiri bagi hari-hari kita.. Mengajari kita begitu banyak hal tentang kehidupan. Juga ketika melihat mereka tumbuh dewasa dan menjadi sosok-sosok shalih dan shalihah yang menyejukkan mata..

Sebuah kebahagiaan dan nikmat dari Allah yang tidak terkira dan terjelaskan oleh kata-kata. I won’t deny it’s joyful to be single or childless, but the joy would be more complete by their presence in my life.

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimush-shaalihat.. 

danbo and kids

~ Jakarta, 13 Juni 2014..  semoga Allah mudahkan kita untuk mendidik mereka menjadi generasi terbaik umat ini..

©aisyafra.wordpress.com

[ image source: Pinterest ]

Advertisement

2 thoughts on “Banyak Anak = Banyak Rezeki?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.