Waktu kecil, saya tidak pernah bercita-cita suatu saat akan menggeluti dunia jahit menjahit, apalagi berprofesi sebagai seorang penjahit. Walau Mbah Kakung dan Abi bisa menjahit, bahkan Mbah Kakung punya tailor sendiri di rumah.. Tapi tak sekalipun saya terpikir untuk mengikuti jejak mereka.
Ketika lulus SMP saya merasa amat-sangat-happy karena sudah terbebas dan say goodbye sama yang namanya pelajaran Tata Busana. Satu pelajaran yang paling nggak saya minati waktu itu. Ribet, membosankan, pusing ngitung ukuran, bikin pola salah melulu.. Stres deh. Pas selesai ujian praktek terakhir bikin piyama, rasanya pengen teriak,
“Selamat tinggal kain dan jarum pentul. I won’t see you again for a lifetime!”
Lol XD
Setelah menyelesaikan SMA dan tidak berencana untuk melanjutkan ke bangku kuliah, saya disarankan Ummi untuk belajar jahit di teman beliau yang mempunyai butik sendiri. Awalnya saya menolak, lha wong saya nggak suka banget jahit menjahit kok disuruh kursus jahit.. Semacam orang nggak doyan duren disuruh nyicipin duren.
“Ogah deh mi, aku nggak bakat jahit nih kayaknya. Apalagi bikin baju buat orang.. Nggak pede..” alasan saya waktu itu.
“Yang penting bisa jahit baju sendiri aja dulu, kayak Ummi gini lho. Percaya deh, suatu hari nanti keahlian itu pasti kepake..” jawab Ummi.
Akhirnya walau sedikit terpaksa saya jalani juga kursus menjahit itu, dua kali sepekan. Sering nggak masuk dengan alasan sepele. Sering mainan game kalau gurunya lagi ke belakang atau shalat. Sering ngelamun kalau lagi diajarin. Sering nggak ngerjain PR kalau PR-nya susah. Haha bandel banget ya saya waktu itu. Maafkan saya bu guruuu.. :p
Meski nggak sepenuh hati, ternyata saya cepat menangkap materi yang diajarkan, bidznillah. Di saat teman-teman seangkatan banyak yang ‘berguguran’ alias nyerah dan nggak pernah datang-datang lagi karena tingkat kesulitan yang makin bertambah.. Saya masih tetap bertahan.
Witing tresno jalaran soko kulino, begitu bunyi sebuah pepatah Jawa. Karena sering melihat dan bertemu, akhirnya di hati mulai tumbuh benih-benih cinta. Tsaahhh.
Kira-kira setelah setahun belajar, saya mulai menemukan asyiknya dunia baru ini. Ada kenikmatan tersendiri ketika saya menyelesaikan satu baju dan memakainya. Ada rasa rindu menanti dua hari dalam sepekan itu datang. Yup, I thought I was finally falling in love with this subject..
Saya masih ingat betul baju pertama yang saya hasilkan, sebuah blus warna hijau pastel dan gamis model princess warna soft pink dengan motif bunga-bunga mungil.. Masih tersimpan rapi di lemari sampai sekarang.
Waktu pertama kali jadi saya seperti takjub sendiri, “Ya Allah.. kayak nggak percaya yang tadinya kain lebar gitu bisa jadi begini, dan aku yang membuatnya jadi baju..”.
Aaaaakkk! #terharu
Ya, walau perjuangannya juga nggak mudah untuk merubah selembar kain menjadi sepotong baju. Butuh kesabaran, keuletan, ketelatenan, kegigihan juga air mata (lebayatun mode: on). Karena metode yang diajarkan guru saya waktu itu adalah standar modiste, yang kualitas jahitannya halus dan rapi maka butuh extra effort (and of course, extra patience!) untuk mengerjakannya.
Tak jarang saya disuruh mendedel lagi jahitan yang sudah dikerjakan dengan susah payah, cuma karena jahitan yang seharusnya lurus agak mencong sedikit atau keluar jalur.
“Ini semua didedel ya, ulang lagi jahitnya” kata guru saya.
Ha? Saya bengong.
“Semuanya, Bude? Kan cuma mencong sedikit..” saya mencoba menawar.
“Iya, semuanya. Tia pengen jahitannya rapi apa asal-asalan? Kalo pengen rapi ya harus rajin ndedel sama ngulang kalo ada salah..” jelas beliau.
Ngok. Rasanya pengen nangis. Seriously. Itu udah yang kesekian kalinya saya ndedel. Menjahit pinggiran kain semisal manset memang bagian paling menuntut ketelitian dan kesabaran. But I don’t want to quit.
Pernah juga saya udah pede abis nyerahin potongan kain siap dikerut yang panjangnya bermeter-meter untuk dijadikan sambungan jilbab berenda. Begitu dicek sama beliau,
“Ini salah motongnya. Harusnya melintang sesuai arah serat kain, bukan membujur..”.
“Trus gimana dong, Bude?” kata saya sambil dag-dig-dug alias H2C. Jangan-jangan disuruh motong ulang.
“Ya motong baru lagi. Nanti kalo ga sesuai arah serat kain nggak bagus jatuhnya dan nggak enak dipakenya..”
Nah kan.
“Trus yang ini buat apa Bude?”. “Ya nggak kepake, buat bikin kunciran rambut aja biar nggak sia-sia..”.
Alamakkk… Motong lagi dari awal. Sia-sia saya jungkir balik motong tadi malem. Dan sayang kainnya juga sih.. #sob
Sekarang, setelah menjadi penjahit betulan (lah emang tadinya abal-abal?) saya sadar betul bahwa kedisiplinan beliau banyak manfaatnya. Di antaranya menjaga kualitas jahitan saya tetap rapi dan nggak asal jadi. Membentuk saya menjadi pribadi yang cenderung perfeksionis dalam profesi ini. No pain, no gain. Begitu katanya wong londo..
Orang sering menganggap ongkos jahit ‘sekian’ itu mahal, malah ada yang bilang ongkos jahit 1 baju bisa buat beli 1 potong baju jadi. Kalau menurut saya, itu salah satu contoh orang yang kurang menghargai ILMU.
Memang jahit baju sekilas gampang, tapi yang bikin rumit dan bikin ongkos jahit boleh jadi sama dengan beli jadi adalah ilmu (yang dipelajari dengan susah payah selama bertahun-tahun) dan juga resikonya.
Kadang seorang penjahit sampai harus mengganti bahan customer kalo ada kesalahan fatal dalam proses pembuatan. Karena itulah resiko profesi sebagai penjahit . Hasil jahitan konveksi pabrikan yang menggunakan pola baku S-M-L-XL dengan jahitan rumahan atau modiste yang tiap bikin baju menggunakan pola berbeda dan juga teknik menjahit yang berbeda, tentu beda juga mutu dan kualitasnya.
Ada harga, ada rupa. My good customers always know that.
“Do what you love, love what you do. Make your passion your profession, and work will become a game.” ~Unknown
Menjahit itu menyenangkan. Ada kepuasan tersendiri ketika memakai baju buatan tangan kita sendiri. Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita membuatkan baju untuk orang-orang yang kita cintai. Ada keasyikan tersendiri ketika kita bebas berkreasi, membuat apa saja yang kita ingini.
Bisa menjahit juga menghemat pengeluaran rumah tangga. Banyak yang bisa kita buat dari potongan-potongan kain atau perca. Tas mungil, sarung bantal guling, hp pouch, dompet dan aneka kerajinan tangan lainnya. Banyak baju anak-anak yang saya buatkan dari sisa kain yang masih lumayan lebar. Kadang dikombinasikan dengan motif dan warna lain kalau bahannya nggak cukup.
Waktu baru nikah, suami pernah bertanya – waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan,
“Lebaran ini mau dibeliin baju apa?”.
Kata saya, “Nggak perlu dibeliin baju A, beliin kain aja..”.
Dan setelah saya hitung-hitung, 1 stel baju muslimah lengkap dengan jilbabnya, bisa dibelikan kain untuk 3 stel baju. Ha! Hemat sangat kan? #wink
I always recommend this skill to every woman I know. Terutama bagi mereka yang masih lajang dan punya banyak waktu. Karena setelah jadi ibu-ibu, waktu luang dan kesempatan tidak selonggar seperti waktu masih single dulu. Sekarang mau bikin baju satu biji aja, banyaaak banget ‘ujian’nya. Lol.
Sewing skill has many benefits. Memperbaiki baju yang sobek, memasang kancing yang lepas, memendekkan celana panjang suami yang rata-rata pasti melewati mata kaki. Nggak perlu dikit-dikit ke tukang jahit buat permak. Bahkan ketika sedang cuti seperti saya sekarang ini, masih bisa menghasilkan baju untuk dipakai sendiri di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga.
It never crossed my mind that one day I will choose this way. Tak pernah terlintas sedikitpun bahwa saya akan mencintai dan menekuni profesi dari sesuatu yang tadinya tidak saya sukai, bahkan sangat saya benci. Mengutip sebuah ungkapan bijak,
“Letakkanlah rasa cinta dan benci itu secara proporsional, jangan berlebihan. Karena boleh jadi yang tadinya kita cinta berbalik menjadi sesuatu yang kita benci. Demikian juga sebaliknya..”
Tanpa terasa 13 tahun sudah saya menggeluti dunia yang sangat saya cintai ini. Sewing for me is more than just a job, it’s a passion. Maybe it was not love at the first sight, but as time goes by.. I finally knew I was in love, and always will be..
ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُﻟِﻠّﻪِ ﻫَـٰﺬَﺍ ﻣِﻦ ﻓَﻀْﻞِ ﺭَﺑِّﻲ ... ♡
~ Jakarta, beberapa hari menjelang Ramadhan.. sedikit catatan tentang 13 tahun persahabatan 🙂
©aisyafra.wordpress.com
[ image source: Pinterest ]
mba cuti apa mba kerjakah mba nya
LikeLike
Cuti jadi penjahit rumahan, mba 🙂
LikeLike
Huhuuhu, tulisan ini memotivasi akuuu untuk belajar jahit lagiii. Harus semangat !
LikeLike
Semangatttt eka! 😉
LikeLike
dari benci jadi cinta kali mba…. tsaahhhh fufufuu hehee
LikeLike
Heheu sepertinya begitu mba 😀
LikeLike