“Letters, when someone can still speak to you even after they’ve gone. Priceless, I say.”
Beberapa hari ini beranda socmed dipenuhi dengan hal-hal yang ngehits zaman saya kecil dulu. Jajanan jadul, mainan jadul, majalah jadul, lengkap dengan segala keunikan, kegejean dan kegokilannya. Anything sooo yesteryears. Sayapun jadi terbawa untuk ikut bernostalgia mengenang kejayaan masa-masa silam. Mendadak kangen, euy..
Ada satu hal yang kini benar-benar tinggal kenangan. Satu hobi yang sangat saya gemari waktu masih kecil dulu.. Namanya korespondensi alias surat-menyurat.
Waktu baru bisa membaca dan menulis dulu, saya sering diajari Ummi untuk menulis surat. Suratnya bisa buat siapa aja, sepupu, teman sekelas, atau nenek dan kakek di kampung. Tujuannya supaya saya semakin lancar menulis dan berbahasa. Dari situlah saya jadi tahu, apa arti kata “to” dan “from”. Pernah sekali waktu tertukar, harusnya nulis “to” eh malah “from”. Mana alamatnya udah ditulis lengkap lagi. Terpaksa ganti amplop deh.. Padahal sayang amplopnya. Soalnya cakep dan wangi sih. Ehehehe..
Saya juga punya beberapa sahabat pena yang didapat dari majalah anak-anak. Dulu saya berlangganan majalah Bobo yang ngehits banget itu loh. Tiap minggu saya dan adik rasanya udah nggak sabar menunggu edisi terbarunya datang ke rumah. Itu aja udah hiburan yang sangat menarik, nggak perlu deh dikit-dikit JJS ke emol. Inget banget dulu tiap majalahnya dateng, kami selalu berebut baca duluan. Sampe akhirnya kami “suit” untuk menentukan siapa yang baca duluan. Hihuhihu.
Sahabat-sahabat pena saya itu tersebar di penjuru nusantara. Ada yang di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan lain-lain. Belum ada sih yang sampai ke luar negeri. Kebanyakan mereka sebaya umurnya, atau lebih tua beberapa tahun di atas saya. Seru rasanya punya sahabat jauh yang hanya dikenal lewat surat, bertukar kabar lewat udara, tanpa saling mengenal wajah. Kadang saya memberi hadiah mereka hasta karya (duile bahasanye) berupa sapu tangan yang ujungnya disulam nama si penerima. Ada bunga mungil warna-warninya juga. Cakep deh. Maklum waktu itu saya lagi seneng-senengnya bisa menyulam.
Punya penpal atau sahabat pena zaman dahulu, artinya melatih kesabaran. Sabar menanti balasan, tanpa tahu surat kita udah sampai apa belum. Yeah, you know semacam di-PHP-in gitu lah. Rasanya happy banget kalo pas pulang sekolah ada surat balasan yang menunggu. Pengen cepet cuci kaki dan makan trus ngadem di kamar sambil baca surat. Habis itu pasti senyam senyum atau cekikikan sendiri. Tenang, saya masih waras kok 😀
Zaman dahulu, nggak kayak sekarang yang kalo mau nanya kabar atau kirim surat bisa lewat sms, email atau aplikasi chat lainnya yang serba cepat (alhamdulillah they found internet!), berkirim surat lewat pos bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk mendapatkan balasan. Apalagi kalo perangkonya pas-pasan alias budget mentok uang jajan, bisa nyampe aja udah alhamdulillah. Wkwkwkw.. #balada anak sekolah yang uang jajannya mepet XD
Hal yang menarik dari korespondensi adalah saat memilih kertas surat dan amplopnya. Koleksi kertas surat dan amplop saya dulu banyak banget.. Dari yang karakter kartun sampai yang plain and simple model kantoran. Tiap ke toko buku dan alat tulis, rak kertas surat adalah bagian yang hampir tidak pernah saya lewatkan. Hampir tiap bulan selalu beli satu set, saking produktifnya saya menulis surat waktu itu. Seru!
Saya sendiri, tipe orang yang suka sekali menulis surat. Selalu ada hal-hal menarik yang bisa diceritakan. Dan kalo udah nyaman sama penerimanya, saya bisa nulis berlembar-lembar surat tanpa merasa capek atau bosan. Mengalir aja..
Waktu SMP, saya sering berkirim surat pada sahabat-sahabat dekat yang beda kelas. Bahkan ada yang sebangku pula. Kadang kalo pas sempat kami kirimkan lewat pos, kadang saya selipkan aja ke buku atau tasnya. Isinya? Banyak hal yang lebih nyaman kami bicarakan lewat tulisan ketimbang ngobrol secara langsung. Dari mulai pelajaran, ekskul, uneg-uneg yang terpendam sampai soal taksir-menaksir. Lol. Pokoknya banyak nggak pentingnya deh!
Masuk SMA, saya masih hobi surat-suratan. Banyaknya sih sama sohib jaman SD dan SMP yang harus pisah karena beda sekolah. Termasuk dengan kawan satu sekolah yang beda kelas, yang kalo ngobrol bisa berjam-jam nggak kelar-kelar. Sampai-sampai kawan sebangku saya yang super duper males surat-suratan protes ketika saya kirimi surat.
Dalam surat balasannya dia nulis, “Meut, kita ini kan satu sekolah, classmate, sebangku lagi. Ngapain juga pake surat-suratan? Silly, isn’t it?”. Haghaghags. Seketika itu juga saya ngakak. Iya juga sih. Tapi gimana dong, udah kadung hobi…
Setelah lulus, saya dan kawan-kawan sudah agak jarang berkirim surat karena sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sibuk dengan kuliahnya, pekerjaannya, dan keluarga kecilnya. Beberapa tahun lalu waktu saya main ke rumah seorang sahabat yang bisa terbilang dekat, kami membuka kembali kotak yang isinya surat-surat dari dan untuk kami di masa lalu. Nggak berhenti-berhentinya kami ketawa, feeling sooo funny. Menertawakan “keculunan” kami di masa lalu. So this were us: so young, crazy, absurd dan tidak terdefinisikan. Matematikkk kali ah 😛
“Kok bisa sih dulu kita nulis begini? Ya ampun kata-katanya enggak banget deh.. Penting bener ya beginian dibahas, sampe dikirim via pos?” #tepokjidat
Hahaha. Tapi eh tapi.. ada keseruan tersendiri lho ketika kami membuka kembali surat-surat itu, membaca dan, ehem, menertawakannya. This is the story of us. The history of us. Surat-surat itu adalah sebentuk kisah klasik yang kami simpan untuk masa depan. Dan memang benar, cara terbaik untuk mengabadikan sebuah kenangan -selain fotografi- adalah dengan menuliskannya..
Sampai sekarang, surat-surat itu masih tersimpan rapi di box khusus barang-barang jadul. Nggak akan saya buang, insya Allah. Kebayang betapa lucunya kalo surat-surat itu dibaca lagi saat nanti saya udah punya cucu. Flashback ke beberapa dekade ke belakang pasti rasanya sangat menyenangkan. This is how I am, when I was young. How sweet ❤
“There are some things that always bring back a flash from your childhood. Memories are the one thing we hold onto, because they are the only thing in life that never changes. . .”
Honestly, terkadang saya merindukan berkirim surat, bertukar kabar dengan sahabat pena nun jauh disana. Saat-saat mencurahkan isi hati di atas kertas surat, menghiasnya dengan stabilo, icon lope-lope, sticker dan kartu ucapan buatan sendiri.. Menuliskan alamatnya di amplop, mengelem dan menempelkan perangko. Sampai memasukkannya ke bis surat di depan pagar sekolah. Ada sensasi yang berbeda dengan bercakap-cakap lewat email atau whatsapp. A certain feeling which unexplained.
Every generation has their own challenge, their own uniqueness. Mungkin bagi sebagian anak zaman sekarang, yang dilakukan saya dan kawan-kawan waktu masih piyik dulu mungkin terlihat vintage alias kuno, aneh dan nggak masuk akal. Tapi buat kami, justru masa kecil kayak gitu yang asyik banget. Nah mungkin bagi generasi 20-30 tahun yang akan datang, kebiasaan anak zaman sekarang malah akan dianggap aneh. Misalnya aja budaya selfie dengan tongsisnya. Eh kalo itu sih, menurut saya aja sekarang udah aneh 😛
All those amazing things from my childhood.. Semua kenangan masa kecil itu.. Lengkap dengan segala keunikan, kegejean dan kegokilannya. And all of a sudden it feels like,
“Ah, how lucky I am to have an awesome childhood over decades ago. Saat teknologi belum semaju sekarang. Dimana anak jaman sekarang lebih suka menatap layar gadgetnya ketimbang menatap langsung mata lawan bicaranya.. Dimana game online lebih menarik perhatiannya daripada berpeluh-peluh berlari berkejaran bersama kawan-kawannya di lapangan.. “
Alhamdulillaah, I am grateful to be part of 90’s generation ❤
~ Jakarta. September 11th 2014.. for childhood is the most beautiful of all life’s seasons..
[ image source: Pinterest ]
Kalo sekarang, yang bikin girang bukan kiriman surat yg datang ke rumah, tapi kiriman paket hasil belanja online! Ahahahhhaaa…
LikeLike
Ahahahaha. Cannot agree more! 😛
LikeLike