A Fighter Generation

danbo belajar sepeda

Pagi ini ketika membuka beranda Facebook, mata saya tertuju pada satu postingan apik di sebuah grup Parenting. And here it is..

MEMBASMI GENERASI “HOME SERVICE”

Apa itu generasi “HOME SERVICE?” Generasi “HOME SERVICE” adalah generasi yang selalu minta dilayani. Ini terjadi pada anak-anak yang hidupnya selalu dilayani oleh orangtuanya atau orang yang membantunya. Mulai dari lahir mereka sudah diurus oleh pembantu, atau yang punya kekayaan berlebih diasuh oleh Babysitter yang 24 jam siap di samping sang anak. Kemana-mana anak diikuti oleh babysitter. Bahkan sampai umur 9 tahun saja ada Babysitter yang masih mengurus keperluan si anak karena orangtuanya sibuk bekerja. Anak tidak dibiarkan mencari solusi sendiri.

Contoh kecil saja, membuka bungus permen yang akan dimakan anak. Karena terbiasa ada babysitter atau ART, anak dengan mudahnya menyuruh mereka membukakan bungkusnya. Tidak mau bersusah payah berusaha lebih dulu atau mencari gunting misalnya.

Contoh lain memakai kaus kaki dan sepatu. Karena tak sabar melihat anak mencoba memakai sepatunya sendiri maka orang dewasa yang di sekitarnya buru-buku memakaikan kepada anak.

Saat anak sudah bisa makan sendiri, orangtua juga seringkali masih menyuapi karena berpikir jika tidak disuapi makannya akan lama dan malah tidak dimakan. Padahal jika anak dibiarkan tidak makan, maka anak tidak akan pernah merasa apa namanya lapar. Dan saat lapar datang seorang anak secara otomatis akan memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Bagaimana dia akan belajar makan sendiri jika dia tidak pernah merasakan apa itu namanya lapar? Bagaimana dia akan belajar membuat minuman sendiri jika dengan hanya memanggil ART atau babysitter atau orangtuanya saja minuman itu akan datang sendiri kepadanya.

Saya mengutip perkataan seorang Psikolog dari Stanford University, Carol Dweck, beliau menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success,

“Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan”.

Tapi beranikah semua orangtua memberikan hadiah itu pada anak? Faktanya saat ini banyak orangtua yang ingin segera menyelesaikan dan mengambil alih masalah anak, bukan memberikan tantangan.

Saat anak bertengkar dengan temannya karena berebut mainan, orangtua malah memarahi teman anaknya itu dan membela sang anak. Ada pula yang langsung membawanya pulang dan bilang, ”Udah nanti Ibu belikan mainan seperti itu yang lebih bagus dari yang punya temanmu..gak usah nangis”.

Padahal Ibu tersebut bisa mengatakan,

“Oh kamu ingin mainan seperti yang punya temanmu ya? Gak usah merebutnya sayang.. kita nabung dulu ya nanti kalau uangnya sudah cukup kita akan sama-sama ke toko mainan membeli mainan yang seperti itu”.

Kira-kira bagaimana jika Ibu mengatakan demikian? Ada tantangan yang diberikan pada anak bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang dia ianginkan maka dia harus berusaha untuk menabung dulu. Tidak lantas mengambil alih bahwa everything oke… ada Ibu dan ayah disini yang akan mengatasi segala masalahmu nak.

Dalam keseharian Generasi “HOME SERVICE “ semua pekerjaan rumah tangga tak pernah melibatkan anak. Saat anak membuat kamarnya berantakan langsung memanggil asisten untuk segera merapihkan kembali. Anak menumpahkan air di lantai, di lap sendiri oleh Ibunya. Anak membuang sampah sembarangan, dibiarkan saja menunggu ART menyapu nanti.

Dalam hal belajar saat anak sulit belajar, orangtua telpon guru les untuk privat di rumah. Dalam hal bersosialisasi saat anaknya nabrak orang sampai mati di jalan karena harusnya belum punya SIM malah sudah bawa kendaraan sendiri. Orangtuanya langsung menyuap polisi agar anaknya tidak diperkarakan dan dipenjarakan. Beres kan.. hidup ini tidak susah nak.. selama orangtuamu ada di sampingmu. Iya kalau orangtuanya kaya terus… iya kalau orangtuanya hidup terus.. semua kan tak pernah bisa kita duga.

Generasi inilah yang nantinya akan melahirkan orang dewasa yang tidak bertanggungjawab. Badannya dewasa tapi pikirannya selalu anak-anak, karena tak pernah bisa memutuskan sesuatu yang terbaik buat dirinya.

Mau gimana lagi? Memang dididiknya begitu.

Sekolah yang carikan orangtua. Jodoh yang carikan orangtua. Rumah yang belikan orangtua, Kendaraan yang belikan juga orangtua. Giliran punya cucu yang mengasuh dan jadi pembantu di rumahnya juga ya si orangtuanya.

Kasian banget ya.. sudah modalin banyak ternyata orangtua tipe begini hanya akan berakhir jadi kacung di rumah anaknya sendiri. Maaf kalau saya menggunakan istilah ‘kacung” karena saya betul-betul prihatin kepada orangtua yang terlalu menjadi pelindung bagi anaknya, bahkan nanti buat cucunya juga.

Kapan bisa mandirinya tuh anak. Sahabat Nabi Ali Bin ABi Thalib RA sudah memberikan panduan dalam mendidik anak:

“Ajaklah anak bermain pada tujuh tahun pertama, disiplinkanlah anak pada tujuh tahun kedua dan bersahabatlah pada anak usia tujuh tahun ketiga.”

Jadi anak umur 7 tahun ke bawah memang dididik sambil bermain. Berikan tanggungjawab pada mereka meski masih harus didampingi seperti misalnya mandi sendiri, membereskan mainan, makan sendiri, membuang sampah dll. Untuk anak usia 7 sd 14 tahun mulailah mendisiplinkannya.

Misalnya menyuruhnya shalat tepat waktu, belajar berpuasa, mengerjakan PR sepulang sekolah, menyiapkan buku untuk esok pagi, membantu mencuci piring yang kotor, menyapu halaman rumah dll.

Apabila anak umur 7 sd 14 tahun itu tidak melakukan kewajibannya maka perlu diingatkan agar dia menjadi terbiasa dan disiplin. Untuk anak usia 14 sd 21 tahun maka orangtua harusnya bisa bersikap sebagai sahabat atau teman akrab.

Orang tua perlu menolong anak untuk belajar bagaimana menggunakan waktunya, dan mengajari anak tentang skala prioritas. Dalam hal ini terkadang orangtua sering merasa kasihan.

Karena semakin besar usia anak, maka semakin sibuk dia dengan kegiatan akademiknya. Anak ikut les ini dan itu, kegiatan ekstrakulikuler yang menyita waktu, kerja kelompok dll. Merasa anaknya tidak punya waktu, lalu orang tua, membebaskan anak dari pekerjaan rumah tangga. Padahal skill yang terpenting dalam kehidupan itu bukan hanya dari sisi akademik saja tapi bagaimana dia menghadapi rutinitas yang ada dengan segala keterbatasan waktunya.

Anda yang sudah menjadi orangtua pasti merasakan bagaimana seorang Ibu harus membagi waktunya yang hanya 24 jam itu untuk bisa mengelola sebuah rumah tangga. Pekerjaan yang tiada habisnya. Pekerjaan mencuci baju, menyetrika, membereskan rumah mungkin bisa minta orang lain melakukannya. Memasak juga bisa membeli yang sudah jadi, tapi jam mengasuh anak tidak ada habisnya bukan?

Apalagi jika di rumah tidak ada asisten karena sekarang ART semakin langka, jika pun ada gajinya minta selangit. Belum lagi banyak ketidakcocokkan. Udah bayar mahal, ngeyel, minta banyak libur, gak rapih juga kerjanya. Bikin emosi jiwa saja ya ? He..he…he…

Karena itu sebelum anda menjadi depresi sendirian, maka libatkanlah anak anak dalam pekerjaan rumah tangga.

Saya pernah membaca sebuah artikel yang meliput tentang sebuah keluarga di Indonesia yang punya 11 anak tanpa ART dan sering traveling ke luar negeri. Manajemen keluarganya TOP banget deh, dan kuncinya mereka melibatkan semua anaknya untuk ambil bagian dalam berbagai pekerjaan rumah tangga. Ada yang bertugas sebagai koki, menyetrika, mencuci, mengepel dll. Kompak banget deh. Asyik kan bisa memberdayakan sebuah keluarga seperti itu. Tidak ada yang meminta dilayani. Semua punya tugas dan tanggungjawab sendiri-sendiri. Saya yakin ke 11 anak mereka kelak akan menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab, sukses dan mandiri.

Oh ya selain melibatkan anak-anak , faktor terpenting dalam meniadakan GENERASI “HOME SERVICE “ adalah peran ayah dalam mengerjakan perkerjaan rumah tangga. Di Indonesia masih banyak suami yang tidak mau terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Seakan-akan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menyetrika, mengepel dll itu adalah aib buat seorang suami. Padahal menurut hasil penelitian, keikutsertaan para suami atau ayah dalam pekerjaan rumah tangga, berpengaruh positif terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga loh.

Berbagi pekerjaan dalam rumah tangga antara suami dan istri tidaklah perlu dibuat jobdesknya secara tertulis, tetapi buatlah semuanya sesuai dengan kesempatan yang mereka punya. Karena jika dibuat jobdesk bisa membuat pertengkaran apabila salah satu ada yang abai menyelesaikan pekerjaannya dan yang lain tidak mau mengerjakan karena merasa itu bukan tugasnya.

Ayah yang menjadi contoh mengerjakan pekerjaan rumah tangga juga akan menjadi teladan langsung bagi anak laki-lakinya bahwa pekerjaan rumah tangga itu tak mengapa dilakukan seorang laki-laki. Peran serta ayah dalam membantu pekerjaan rumah tangga ternyata berdampak positif pada hubungan antara anak dengan ayahnya.

Rata-rata ayah yang terbiasa melakukan perkerjaan rumah tangga terbukti sangat dekat dengan anaknya. Jika antara ayah dan anak sudah dekat maka hubungan suami dan istri pun akan semakin harmonis.

Pengalaman pribadi nih, suami saya suka sekali membacakan buku buat anak kami sebelum tidur. Itu membuat kedekatan emosi diantara keduanya terjalin sangat dalam. Anak saya tak pernah berhenti memuja ayahnya. Ternyata hal itu membuat saya makin mencintai suami karena dia memang sosok yang baik, apalagi dia juga memang tidak segan membantu pekerjaan rumah tanpa saya memintanya.

Buat saya, suami yang mau melakukan pekerjaan rumah tangga itu lebih macho dan ganteng dari actor sekaliber Brad Pitt atau Jason Stanham dari Holywood. Betul gak??

Jadi sudah siapkah keluarga anda meniadakan GENERASI “HOME SERVICE?”

Yuk kita sama sama mulai dari sekarang demi kebaikan dan masa depan anak-anak kelak.

(Deassy M Destiani)

Tulisan ini bagus banget. Mewakili apa yang selama ini terendap di kepala dan ingin dituangkan. A must read for every parent. Perlu banget dibaca setiap orangtua. Terutama orang tua yang anaknya punya sifat bossy dan cenderung manja. Yang mau apa-apa tinggal panggil dan suruh.

Orangtua bukan pembantu atau pelayan bagi anak. Hal ini yang sejak saya kecil, sudah ditanamkan oleh orang tua kepada saya dan adik-adik. Agar kelak kami lebih mandiri. Agar kami mengerti segala sesuatu menuntut konsekuensi, menuntut tanggung jawab.

Sejak kecil di rumah nggak pernah ada ART. Semua tugas dikerjakan dengan sistem gotong royong, bahkan Abi pun ikut turun tangan membantu dalam menuntaskan pekerjaan rumah. Ummi memberikan jobdesk untuk kami kerjakan setiap harinya. Menyapu halaman, membuang sampah, membersihkan dapur. Bahkan kami mulai mencuci baju sendiri waktu masih kelas 3 SD.

Misalnya dalam hal memasak. Ummi tugasnya belanja dan masak, adik nyiangin sayuran, saya yang beres-beres dapur dan mencuci peralatan masaknya. Karena semua udah paham akan kewajiban masing-masing, jadi nggak ada cerita oper-operan kerjaan atau lempar-lemparan tanggungjawab. Pertamanya pasti agak terpaksa, tapi lama kelamaan kami mulai terbiasa.

Waktu SD, saya berjualan es mambo di sekolah. Seperti yang pernah saya ceritakan di blog ini sebelumnya. Lumayan, hasilnya bisa buat tambah-tambah uang saku, beli alat tulis dan buku. Malu? Enggak tuh. Malahan bangga karena bisa menghasilkan sesuatu dari hasil jerih payah sendiri.

Sejak mulai membuka jahitan di rumah dan memiliki penghasilan sendiri saya tak pernah lagi menadahkan tangan ke orang tua untuk kebutuhan pribadi seperti baju dan sepatu. Nah, kalau ini baru saya malu.

Bahkan setelah menikahpun, saya tetap berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersier dengan hasil keringat saya sendiri. Misalnya mau kulineran atau beli buku dan perawatan kecantikan. Enakan pakai uang sendiri. Beda aja rasanya sama dibeliin suami. Kalau kebutuhan primer seperti sandang, pangan, papan ya kewajiban suami dong. Kan istri bukan tulang punggung 🙂

Ummi dulu sering bilang..

“Dalam hidup ini kalau mau mendapatkan sesuatu ya harus usaha. Mau punya uang, harus kerja dulu. Mau makan, mau kenyang.. Ya harus usaha. Jangan cuma duduk santai di rumah. Jangan apa-apa maunya dilayani. Kalian ummi biasakan mandiri dan punya tanggungjawab dari sekarang, biar nanti nggak kaget kalo udah besar nanti..”

Sekilas memang terlihat kejam. Tega amat sih sama anak. Kan kasihan mereka masih kecil udah dikasih tugas ini itu. Poor kids. But wait, kasihan? I don’t think so.

Saat ini saya justru amat bersyukur dididik dan dibesarkan dengan cara demikian. Saya tumbuh menjadi pribadi yang independen, tetap survive tanpa harus tergantung dan membebani orang lain.

Saya juga tumbuh sebagai pribadi yang struggle and not easy to give up. I believe, I was born to be a fighter.

“Ever tried. Ever failed. No matter. Try Again. Fail again. Fail better.” ~Samuel Beckett

We learn from mistakes. No matter how our parents raised us, there is always a lesson for us to learn. Ambil yang baiknya, tinggalkan yang buruknya.

Sampai saat ini saya tetap enjoy mengerjakan tugas rumah tangga tanpa bantuan ART. Saya juga mulai memberikan list tugas-tugas ringan kepada anak-anak, sesuai usia dan kemampuan mereka.

Ketika si bungsu Fiqar menumpahkan sesuatu di karpet atau lantai, ia langsung ke belakang ngambil kain pel sendiri dan mengepel tumpahannya sampai kering. Padahal nggak pernah saya suruh, lho.

Setelah saya telusuri, rupanya dia sering memperhatikan ucapan saya ketika kakaknya menumpahkan air, “Nah siapa ini yang numpahin air, ayo dipel..”

Ketika anak-anak merengek minta mainan atau barang seperti milik temannya, saya tidak langsung menolak tapi saya tantang mereka untuk berjuang mendapatkannya..

“Kan kemaren baru aja ummi beliin mainan, masa udah minta lagi? Kalo Harits mau punya kayak gitu, ayo dong nabung lagi.. Nanti kalo udah banyak, tabungannya dipecah, Harits bisa beli apa aja yang Harits mau asal uangnya cukup. Gimana?”

Akibatnya adalah ia jadi sering nanya,

“Mi, kalo mau beli ini harganya berapa? Kalo mau ke sini duitnya harus ada berapa? Kalo mau naik haji tabunganku cukup nggak mi?”

Sambil nenteng celengan kaleng gambar Lightning Mc Queen kesayangannya yang dibela-belain nggak jajan di sekolah supaya celengannya cepet penuh.

Oh, kids…… *terharu

Membiasakan anak merapikan sendiri mainannya, menanamkan bahwa setiap perbuatan memiliki resiko, melatihnya untuk bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat, sedari mereka kecil. Well, orangtua bukan pembantu bagi anak yang bisa kapan aja disuruh ini-itu. Tapi keluarga adalah sebuah teamwork. So highlight that point together with your kids.

Perlu waktu untuk membiasakan anak agar mandiri, minimal merapikan mainannya sendiri. It also requires patience, and the most important one: persistence. Limitnya, sebelum tidur semua udah harus rapi, titik. Yaa walau mata sepettt liat yang berantakan ditahan-tahanin deh. Tahan diri dari godaan untuk merapikan sendiri, panjangin sumbunya, sabaaarrrr XD

“Biarkan anak tahu beratnya tugas yang Anda emban, termasuk tugas dakwah, dan perlihatkan kesungguhan Anda. Ini mendidik anak tangguh. Ia akan belajar bersungguh-sungguh jika melihat semangat itu masih melekat pada diri kita bahkan di saat kita sangat penat.

Jika kita capek, itulah kesempatan untuk mengajari anak berempati sekaligus menanamkan bahwa capek bukan alasan untuk berhenti berdakwah maupun berjuang (termasuk memperjuangkan masa depan).

Bila perlu, sekali waktu ajaklah anak menempuh perjalanan berat. Tunjukkan kesungguhan. Biarkan ia merasakan capek itu dan belajar tangguh.

Bukankah kita pun melihat capeknya para pendaki sesudah tiba di puncak gunung? Tapi mereka sangat antusias. Inilah yang justru menjadikan kita ingin melakukan hal serupa.” (Mohammad Fauzil Adhim)

Ada banyak bentuk cinta orang tua terhadap anaknya. Tapi yang namanya cinta nggak selalu melulu mengabulkan permintaan yang dicintai, meski akibatnya buruk untuk yang dicintai.

Sekilas, memanjakan anak dengan memberi apa saja yang mereka minta adalah bentuk kasih sayang orangtua pada anak. Padahal, yang demikian dapat membentuk karakter anak menjadi pribadi yang cengeng, rapuh dan super-bossy ketika kelak mereka dewasa.

Sekilas, membiasakan anak untuk mandiri dan bertanggung jawab sejak mereka kecil adalah bentuk kekejaman orangtua pada anak. Padahal yang demikian akan membentuk mereka menjadi pribadi yang tangguh, pantang menyerah dan menghargai hak-hak orang lain. This is how my parents raised me to be what I am today.

So the choice is in our hands, dear parents..

~ Jakarta, ditulis selepas Subuh di antara tumpukan deadline 😀

©aisyafra.wordpress.com

[ image source: Pinterest ]

20 thoughts on “A Fighter Generation

  1. seneng dapat bacaan bermutu di pagi hari. mood booster banget ini.
    hehehe.. jd inget td pagi baru aja anakku nanyain, mik ini celengannya uda penuh boleh dibuka ya,
    buat beli mainan 🙂

    Like

  2. Mbak saya punya adik yang lagi remaja [SMP], nah kalau di suruh-suruh susah sekali karena masih ada saya dirumah yang bantu-bantu ibu. Mungkin karena sejak kecil dibiarin kali ya, karena Ibu saya juga orangnya pendiem gak terlalu mau nyuruh-nyuruh kecuali terdesak [beliin di waarung, shalat dan belajar]. Kira-kira gimana ya mbak buat menyadarkan adik saya ini, dia perempuan juga, tapi kalau saya suruh disiplin susahnyaaa~ contoh sederhana pernah saya tegur, pulang sekolah sepatu copot teras biar lantai dalam rumah gak kotor trus sepatu di taruh di rak. Nyatanya dia tetep melakukan hal yg dia lakukan [copot sepatu didlm rumah dan sepatu digeletakkin sembarangan] 😦

    Like

    • Kalo sudah terbentuk sedari kecil memang nggak mudah dek. Mengubah kebiasaan yg sudah mengakar nggak semudah yg kita kira. Apalagi yang menyuruh bukan orangtua, tapi kakak. Tiap anak beda2 dek, ada yang butuh waktu, kesabaran dan keteguhan untuk mau didispilinkan. Patience and persistence required.

      Ajaklah Ibu utk bantu memotivasi adik agar mau bantu2. Usia remaja biasanya lagi masa2nya memberontak, jadi jangan disuruh, tapi diajak. Misalnya diajak bareng2 beresin kamar, diajak dialog santai sbg adik kakak, pendekatan secara personal. Dan peran orangtua di sini sangat penting untuk mengubah kebiasaan yg sudah bertahun2 terbentuk.

      Semoga Allah mudahkan 🙂

      Liked by 1 person

  3. bagus banget mba meutya tulisanya …. anak aq baru mau 2 tahun huaaaa mudah2an bisa mendidiknya dengan benar sesuai ajaran islam aamiiiin 🙂

    aq izin repost yah mba 😉

    Like

  4. setuju banget sama tulisan ini. Saya termasuk orangtua yang sering dibilang “keras” dalam mendidik anak, hanya karena mereka saya biasakan untuk mandiri dan disiplin. Apalagi 2 anak tertua saya perempuan semua, gimana gedenya coba kalo nggak saya biasakan mandiri dari sekarang, hehe…
    jazakillah khoyr ya umm atas sharingnya

    Like

  5. Keren banget mbag,,,
    Biar masih bujang, bersyukur dapat ilmu parenting. Buat bekal nantinya.. Bisa jadi mungkin abis nikah waktu buat belajar parenting ga se leluasa ketika bujang….hehehe

    Like

Leave a reply to dinlas Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.