#Warning!
Kalimat-kalimat selanjutnya mengandung unsur curhat. Beware. People with extra-baper-syndrome better not enter 😛
Kemarin siang, saya ditag postingan ini oleh seorang teman di Facebook..
Panduan singkat memilih sekolah Islam :
1. Kalau sekolah menuntut uang pangkal dan SPP mahal, Segera cari info tentang gaji guru-gurunya. Kalau ternyata rendah, Batalin ! Jangan masukin anak antum kesitu. Mau sebagus apapun jargonnya. Sunnah kek, Salafy kek, Apa lah pokoknya.
InsyaAllah ga berkah ! Guru cuma jadi kuda, Diperas keringat dan ilmunya, Terus dikasih rumput doang
Apalagi kalau ternyata pemilik sekolah atau komponen pemodal lainnya ternyata dapat untung gede dari sekolah itu. Wah ampun dah, Jangan… Jangan… Owe salanin yu olang jangan masuk sekolah itu !
2. Kalau duit masuk dan SPP nya gede, Tapi gaji guru juga gede, Atau minimal sesuai kebutuhan hidup normal di daerah itu, Boleh antum pertimbangkan.
3. Tapi kalau uang pangkal dan SPP nya murah, Lalu ternyata gaji gurunya gede, Itu insyaAllah baru berkah. Karena sekolah model gitu bukan sekolah kapitalis. Dia mampu mengembangkan sumber pendapatan lain diluar pemasukan dari murid, untuk mensejahterakan para pendidik di sekolahannya tersebut.
Cuma ya itu dia, Masalahnya satu : Apa ada sekolahan yang no 3 itu ?
Kalau ada, Monggo berbagi info, Biar orang lain terbantu, Dan sistem kapitalis di dunia pendidikan Islam hancur !
Dan baru pagi ini baca postingan aslinya. Seru baca komen-komennya, euy.. Hehehe.
Ada satu komentar yang cukup mewakili isi hati saya:
“Nyekolahin anak sesuai kemampuan finansial.. toh sekolah bukan tolak ukur anak kita jadi shalihah atau shalih.. Semua kembali ke rumah.. Dan orang tuanya. #GituAjah “
Basic pendidikan anak atau tarbiyatul abna itu di rumah, terutama pendidikan agama. Saya paham benar ketika ada salah satu ummahat yang akhirnya memutuskan untuk menerapkan metode HS alias Homeschool pada anak-anaknya.
“Sampai saat ini, aku belum menemukan sekolah sunnah yang bagus, berkualitas, profesional dan ramah anak dalam satu paket.” ujarnya suatu hari.
Later, I agree. I’m still in search, anyway.
Open your mind
Pasti, banyak yang merasa tertampar membaca status ini. Banyak yang bilang jangan suuzhon, kedepankan prasangka baik, nggak semua sekolah sunnah seperti itu, dan lain sebagainya.
Well, ayo buka mata Anda.
Oknum sekolah seperti ini ada. Dan oknum seperti ini banyak, nggak cuma satu dua. Saya pernah berbagi cerita dengan kawan-kawan yang juga memasukkan anaknya ke sekolah berlabel sunnah di Jakarta.
Kesimpulannya rata-rata sama: sistem yang tidak becus dan tidak profesional.
Bukan hanya soal kesejahteraan guru yang diabaikan, namun juga kekurangan-kekurangan lain yang sifatnya, imho, cukup prinsipil. Kalah jauh dengan sekolah-sekolah swasta Islam pada umumnya.
Saya tidak menggenaralisir bahwa tiap sekolah berlabel sunnah seperti itu kondisinya. Masih, saya masih percaya, banyak sekolah sunnah yang baik. Yang iltizam di atas sunnah, ramah anak, open minded terhadap kritik membangun, berusaha keras untuk lebih profesional, mau maju dan berkembang.
But sadly, they are very rare. There is only a few good sunnah school out there. Do your best to find which suits your needs.
Mencari sekolah yang tepat, tidaklah mudah
Jika ada pencarian yang lebih rumit setelah mencari jodoh, I bet, mencari sekolah yang tepat untuk anak-anak bisa jadi kandidat utamanya. Lol.
Karena kebutuhan, karakter anak , faktor finansial dan mindset tiap keluarga berbeda-beda. Mungkin kami dan anak merasa nyaman dengan instansi pendidikan tertentu, boleh jadi keluarga lain tidak merasakan hal yang sama.
Jadi, alih-alih merasa tertohok dan bersikap defensif terhadap masukan yang datang, in case misalnya, status yang saya share di atas tadi.. Ada baiknya kita semua menyadari dan menerima kenyataan, bahwa ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan di sekolah-sekolah sunnah dewasa ini.
Tidak beres, berarti harus dibenahi, jangan lantas ditutup-tutupi, bukan?
Jangan tutup mata, telinga dan hati. Alih-alih menyadari kekurangan, mengakui kesalahan, malah menyalahkan yang memberi masukan, melabeli mereka dengan aneka macam label yang kita ciptakan untuk membuat mereka merasa inferior dan tidak berguna.
That’s not a smart move, you know. Come on, be wiser. You miss a chance to grow, to be better if you always despise other’s input for your own sake.
Sekolah kapitalis dan komersil, adakah?
Let me answer this question: Ada. Banyak malah.
Actually, ini bukan soal mahal atau murahnya. Karena mahal murahnya biaya pendidikan sangatlah relatif. Jika mahal namun berkualitas dan worth it, no problemo.
Namun biaya sekolah yang cukup besar akan terasa mahal jika tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Jomplang banget lah, istilahnya.
Lalu apa yang bisa kita berikan untuk perbaikan sistem yang terlanjur bermasalah?
Kita bisa berkontribusi mewujudkan pendidikan yang bersih, terjangkau lagi berkualitas. Ingat selalu, tidak semua sekolah mahal itu bagus, dan tidak semua sekolah bagus itu mahal.
Kontribusi tidak hanya berupa uang dan materi, bukan? Masukan, nasehat, ide dan kritik membangun juga merupakan bagian dari kontribusi dan sumbangan berarti.
Entah jika memang yang disebut kontribusi hanya berupa materi. No wonder ada sebutan sekolah kapitalis, sekolah matre, sekolah cari untung, dan lain-lain.
Karena yang diharapkan dari wali murid dan pihak lain adalah materi, uang, jasa gratis dan lain sebagainya. Tidak lebih. Btw, itu bisnis apa sekolahan? Kok profit oriented? :p
Kritik, masukan? Aduhhh.. Next, please!
Apalagi yang belum-belum udah alergi duluan terhadap kata kritik. Udah jiper duluan bakal dikasih masukan ini-itu. Padahal kan belum tentu. Lebay deh ah 😀
Well, kalo memang sekolah tersebut mau maju dan berkembang, kenapa nggak welcome terhadap reseller, eh, terhadap kritik membangun? Itu kontribusi penting loh buat perbaikan.
Justru kalo alergi kritik, biasanya ada something wrong yang sengaja ditutup-tutupi. Meski pada akhirnya terbongkar juga 🙂
Atau supaya cepat selesai:
“Oke, kami tampung masukan Anda. Nanti akan ditindaklanjuti, tapi jangan minta cepat-cepat (direalisasikan) yaa..”
Tapi nyatanya tindak lanjut itu tidak pernah terjadi. Not for real. Zonkkkkk lagi.
Progress, not process
Langkah awal menuju perbaikan adalah:
- Menyadari adanya kekurangan,
- Mengakuinya dengan lapang dada,
- Bertekad kuat dan bersungguh-sungguh untuk mengadakan perubahan, progress melalui tindakan nyata dan bukan sekadar janji-janji palsu belaka.
Jika masih malas dan enggan, jangan salahkan jika para orang tua juga malas dan enggan menyekolahkan buah hatinya di sekolah sunnah yang bermasalah, bahkan rela untuk menarik buah hati mereka dari sana.
Jangan salahkan pula guru-guru yang merasa gerah dan tidak betah mengabdi di sana, boleh jadi karena kesejahteraan mereka kurang, tidak nyaman menjalankan tugas karena sistem yang bermasalah, atau mendapat tekanan dari berbagai pihak.
Mengutip salah satu komentar dalam postingan tersebut, salah satu indikator sekolah yang bermasalah adalah keluar masuknya tenaga pengajar dan perangkat sekolah dalam waktu yang relatif singkat. Gonta ganti terus.
Sayang sekali jika guru-guru baik lagi berdedikasi terkungkung dalam sekolah yang tidak profesional dan enggan berbenah. Mereka sulit untuk mengembangkan potensi dan memaksimalkan keahlian yang mereka miliki.
Sekolah nggak worth it, kata mereka. Mahal-mahal ujungnya zonkkkk. Subhanallaah.
Sedih, tapi nyata. Pahit memang, tapi itulah kenyataan yang harus kita terima dan hadapi. Untuk kemudian kita atasi dengan duduk bersama mencari solusi terbaik bagi semua pihak.
Bukan dengan sikap defensif seperti perkataan,
“Kalo nggak setuju dengan sistem kami, silakan angkat kaki atau bikin aja sekolah sendiri! Memangnya mengelola sebuah sekolah itu gampang!”
Wow..
Pendidik macam apa yang dengan arogan mengucapkan kata-kata seperti ini. Kalau saja saya yang diajak bicara, langsung saya blacklist tipe pendidik atau pengelola sekolah model begini.
What can you expect from a person with that kind of personality? To educate your children? To be a role model for them? Never, ever.
Jangan lagi berlindung di balik kata proses, sedang tumbuh, baru merintis, hingga seabrek excuse lainnya yang mengatasnamakan ummat dan dakwah sunnah.
Please, jangan bawa-bawa kepentingan umat, mengatasnamakan sunnah dan kemajuan Islam, jika sebenarnya yang diperjuangkan adalah kepentingan pribadi atau kelompok. Allah knows what lies inside your heart. Ittaqillaah!
Be picky, be careful, be wise on choosing school for your beloved ones. Sekolah adalah rumah kedua, dan guru adalah orangtua kedua bagi anak-anak kita. Fasilitas dan gedung hanya pelengkap. Their mindset to raise and educate our children is our highest concern. Never, ever settle for anything less.
Semoga kita semua terhindar dari sekolah zonk yang menjanjikan sekolah bagus berlabel sunnah, berkualitas dan mahal, padahal nyatanya jauh dari jargon yang selama ini digembar-gemborkan.
Enough for curhat session this morning. Have a nice day, all! 😉
~ Jakarta, suatu pagi di bulan Maret 2016.. Lagi-lagi soal #EdisiHatiHatiPilihSekolahAnak.
© aisyafra.wordpress.com
[ image source: Tumblr ]
sebenarnya dari kemarin penasaran mba, salah tau contoh zonk-nya itu kayak apa sih mba? masih belum ada bayangan nih, maklum belum nyekolahin anak, lha terus saya jadi kepikiran, sekolah sunnah aja ada yang zonk gitu, ha njuk sekolah biasa pegimane cerita. padahal besok juga kepinginnya nyari sekolah yang lingkungannya baik. jadi tambah cenut-cenut ini *padahal asma belum ada 3th* hihi
LikeLike
Kalo aku ceritain satu-satu di sini, bisa penuh satu postingan, dek. Hehehe. Intinya adalah kurang profesional dalam banyak hal. Hal-hal yang seharusnya dikejar dan diperbaiki sejak dulu namun dibiarkan saja tanpa solusi.
Seperti fenomena gunung es. Luarnya nampak baik-baik saja, namun di dalam, masalah sudah mengakar ke mana-mana.
Banyak yang main asal bikin sekolah aja. Yang penting nyunnah dan steril dari unsur-unsur yang merusak aqidah. Yang penting yang punya dan yang mengelola ikhwah. Namun, cukupkah hanya bermodal itu saja?
Seperti layaknya sekolah yang baru berdiri, seiring berjalannya waktu, akan timbul masalah-masalah baru. Karena minimnya ilmu tentang bagaimana mengelola sekolah yang baik lagi profesional dan enggan untuk terus belajar, maka masalah-masalah tsb bukannya semakin mereda, namun semakin membesar.
And the worse part is.. Ketika masalah yang ada bukannya diatasi tapi malah ditutup-tutupi dan dianggap tabu untuk membicarakannya karena alasan takut mencemari dakwah sunnah.
Dan ini adalah common issue di sebagian besar sekolah sunnah dewasa ini. Like it or not, that’s the fact.
Insya Allah kalo nanti Asma udah masuk sekolah, dek Ayu lebih ngerti apa yang aku maksud. Karena sudah mengalami sendiri bagaimana dunia sekolah dan segala plus minusnya 🙂
LikeLike
ikut nimbrung mbak.. saya guru di sekolah islami dan hmmm yaa ketawa aja baca tulisan anti, ketawa miris sambil mengiyakan. hehee..
entahlah menurut saya yang terjadi adalah kesulitan menyesuaikan pendidikan sesuai syariat dengan kurikulum pemerintah. kadang juga kesejahteraan guru ditutupi dengan slogan ikhlas berjuang untuk agama Allah. saya cuma guru fisika mbak, merasa paling bodoh diantara asatidz yang ilmunya sudah luar biasa.
ya gitu deh mbak, ngomongin ini bisa panjang kali lebar. 🙂
LikeLike
Jadi fenomena ini memang fakta ya, mbak 🙂
Menyoal kesejahteraan guru yang ditutupi dengan slogan ikhlas berjuang untuk agama Allah.. Kalimat ini banyak dijadikan alasan bagi para pengelola sekolah untuk menekan gaji guru, dengan jargon andalan mereka:
“Mengajar itu harus ikhlas lillaahi ta’ala” 😀
Mungkin jika sekolah tsb masih merintis dan memang serba ala kadarnya, misal seperti sekolah di pedesaan yang memang sederhana, bisa sedikit dimaklumi ya..
Namun jika sekolah tsb adalah sekolah yang mematok uang masuk dan SPP yang cukup besar, fasilitas pun ada, lalu gaji guru kecil..
Pertanyaan saya: ‘Ke mana uang sebanyak itu mengalir?’
Jangan bicara tentang keikhlasan guru, jika sekolah tersebut adalah sekolah komersil yang memungut bayaran cukup besar dari siswanya. Gaji guru kecil, kondisi fasilitas sekolah banyak yang memprihatinkan, profesionalitas kurang, sedang bayaran sekolah cukup besar.
Sangat kontradiktif, bukan?
Kalau gurunya harus ikhlas, pengelola harusnya ikhlas juga dengan menekan biaya masuk dan SPP seminim mungkin, agar tidak memberatkan umat. Jangan double standard.
Ini kalau kita bicara soal keikhlasan dan kepentingan umat, ya..
Under my point of view..
Sekolah berkualitas yang menghargai ilmu dan menjunjung tinggi pendidikan, akan sangat menghargai ilmu dan jerih payah tenaga pengajarnya dengan memperhatikan kesejahteraan mereka.
Karena bagi saya, kesejahteraan guru erat hubungannya dengan performance mereka dalam proses belajar mengajar. Sangat berpengaruh.
Entah jika memang sekolah tersebut adalah sekolah materialistis lagi komersil, yang memegang teguh prinsip:
“Dengan modal seminim mungkin, demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, meski harus menzhalimi pihak lainnya.”
Tak heran ada istilah ‘sekolah kapitalis’.
Wal’iyadzubillaah.
LikeLike