“Nggak mau ah kalo nggak branded! Malu kelesss.. Apa kata dunia??”
Branded minded, that’s dangerous. Apa-apa harus yang bermerk. Nggak level sama barang yang brandnya belum terkenal. Seakan kalo nggak pake barang-barang branded dari ujung kaki sampai ujung kepala, jadi berasa kurang pede, malu, nggak kekinian, nggak gaul, mencirikan ‘gembel style’, etc.
Kalau nggak pake barang branded trus kurang atau bahkan merasa nggak pede, sepertinya ada yang perlu dipertanyakan. Masa iya kita menilai diri kita dengan apa yang melekat pada tubuh kita? Melabeli “harga” diri dengan standar keduniawian, to me that’s really pathetic.
Kalo ada dokunya sih nggak masalah ya. Itu juga nggak boleh berlebihan sampai jatuh ke tabdzir (boros). Nah kalo doku nggak ada, jatuhnya malah jadi BPJS. Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita
Contohnya, anak abege yang ngidam banget iPhone 7 sampe dibela-belain beli replikanya. Yep, replika! Alias iPhone palsu. Merk apa juga nggak jelas, yang penting casing iPhone 7. Biar bisa bragging ke temen kalo lagi kongkow bareng.
“Nih loh gue kayak kalian, bisa nenteng iPhone. Udah gaul belom gue sekarang?”
Padahal palsu. Meski orang lain mungkin nggak ngeh itu palsu, hati kecilnya nggak bisa dibohongi. Demi prestise, demi dicap gaul dan kekinian, demi “dianggap” sama komunitasnya, mereka rela menipu diri sendiri dan orang lain.
Jika ada komunitas yang menuntutmu untuk menjadi orang lain dengan menanggalkan jati dirimu, maka dapat dipastikan itu bukan tempat yang tepat untukmu. Masih banyak komunitas lain yang bermanfaat dan mendukungmu untuk jujur menjadi dirimu sendiri.
Sederhana itu lebih baik, lagi lebih menenangkan. Selain itu, lebih ringan hisabnya di hari kiamat kelak.
Ketika kita banyak bergaul dengan ibu-ibu sosialita yang harga tasnya aja ratusan juta, maka kita akan menganggap bahwa tas seharga puluhan bahkan ratusan ribu yang tergeletak di lemari kita sebagai sampah yang tidak berguna.
Ketika kita banyak bergaul dengan mereka yang tiap bulan dapat jatah dari suami seharga dua motor keluaran terbaru, maka jatah bulanan dari suami kita yang “cuma” jutaan mendadak terasa tidak mencukupi. Dada menjadi sesak karena daftar keinginan yang terus bertambah.
Ketika kita sering nongkrong bareng sama mereka yang gajinya puluhan juta perbulan, saban hari ngupi di cafe terkenal, keluar masuk mall high class, kendaraannya merk ternama, tinggal di pemukiman elit yang harganya em-eman, hingga dunia adalah agamanya..
Maka sungguh, kita akan merasa gagal sebagai manusia karena gaji yang tidak seberapa, baru punya motor satu biji, rumah masih ngontrak, cuma bisa nyeduh kopi sachetan, belanja di pasar tradisional atau minimarket dekat rumah..
Sungguh jika kita selalu membandingkan dengan mereka yang berada di atas kita dalam urusan dunia, maka selamanya kita tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang ada.. Jiwa kita penuh akan hasrat duniawi yang tidak akan pernah terpuaskan sampai kapanpun juga. Na’udzubillaah.
Jangan lupa bersyukur…
Cobalah kita tengok dan duduk sejenak bersama saudara-saudara kita yang makan tak tentu sehari sekali. Tidur di gerobak, makan minum hasil mengais-ngais dari sisa bak sampah, anak mereka tak kenal bangku sekolah, baju itu-itu saja karena tidak ada lagi baju untuk ganti…
Maka niscaya kita akan sangat merasa beruntung dan bersyukur. Astaghfirullaah 😥
Hendaklah kita meniru gaya hidup Rasulullah Shalallaahu Alaihi wa Sallam yang membumi dan apa adanya. Atap rumah beliau hanya dari pelepah kurma, yang dapat dijangkau dengan tangan saja. Padahal beliau adalah sebaik-baik manusia lagi telah dijamin surga atasnya.
Sungguh indah nasehat Rasulullah berikut ini..
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu , ia berkata:
“Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
(Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Thabrani dan Ibnu Hibban)
Inilah zaman di mana orang-orang berlomba untuk dinilai dari apa yang mereka punya, bukan dari apa yang mereka bisa, bukan lagi dari hal positif yang mereka kerjakan. Pergeseran mindset bahwa tingginya gaya hidup seseorang selalu berbanding lurus dengan kadar kebahagiaan hidupnya.
Dan socmed mengambil peran penting dalam fenomena ini. Budaya pamer dan selalu ingin jadi yang paling ‘wah’ di antara circle pertemanan membuat manusia jadi selalu ingin lebih dan lebih. Nggak mau kalah dari orang lain yang hidupnya tampak jauh lebih sempurna.
Sometimes I wonder…
Betapa lelahnya hidup dalam perangkap semacam itu. Dikelilingi jiwa-jiwa yang selalu haus akan sanjungan, popularitas dan nafsu untuk menjadi yang nomor satu. Tak pernah merasa puas dengan milik sendiri, karena selalu membandingkan diri dengan milik orang lain.
Jika saat ini kita dikelilingi oleh circle pertemanan yang sederhana lagi tidak mendewakan harta, materi dan kedudukan dunia, justru selalu mengingatkan akan urusan akhirat..
Maka bersyukurlah…
Di tengah derasnya arus hedonisme dan hebatnya pencitraan di sosial media, mereka tetap mencintai kita apa adanya. Tanpa embel-embel duniawi, tanpa pamrih, tanpa berbagai tuntutan di luar kesanggupan kita…
Mereka tidak pernah mengharapkan sesuatu dari kita, melainkan pertemanan yang tulus, cinta yang murni dan diri kita yang apa adanya ❤
~ Jakarta, May 2017.. inspired by a friend’s post on Facebook this evening.
© AISYAFRA.WORDPRESS.COM
[ image source: Pinterest ]
so true mbak. capek kalo liat ke atas terus. indah memang, tapi leher jadi pegel :)) satu-satunya obat ya inget lagi nasihat rasul dan ayat-ayat tentang bersyukur di qur’an.
socmed ini memang trigger yang bahaya banget, bisa bikin seseorang kufur nikmat dan panjang angan-angan.
tapi dari hirukpikuk keduniawian di socmed pun jadi keliatan mana orang-orang yang orientasinya akhirat. dan jumlahnya bisa dihitung jari… saya bersyukur kalau nemuin postingan mereka di tengah-tengah postingan ‘hedon’ yang wara-wiri. bagaikan oase di padang pasir hihi.
LikeLike
Sepakat.. Sosmed adalah godaan untuk berlomba mengejar dunia yg memang tak ada habisnya. Apalagi jika friendlist kita “dunya oriented” semua. Subhanallah.
Semoga Allah senantiasa menjadikan kita hambaNya yg bersyukur…
LikeLike
Ini yang saya pelajari belakangan ini mba, apalagi ketika kota terkena banjir, walaupun rumah saya aman, pas ngeliat rumah2 dengan barang2 yang udah basah rusak ga berarti, rasanya jadi mikir2 buat beli barang2 yang gak butuh banget atau terlalu mahal, branded de el el itu gak ada artinya dalam sekali kibasan banjir :’)
LikeLike
Iya 😦
Mudah sekali Allah mengambil apa yang tadinya sangat kita banggakan. Semoga kita termasuk hamba2Nya yang zuhud dan sederhana..
LikeLike
[…] kejadian lalu, ketika saya posting soal generasi BPJS dan gaya hidup serba branded, ada yang merong-merong merasa postingan tersebut ditujukan untuknya. Padahal, saya aja nggak […]
LikeLike