Life After the Wedding Day

“When nikah becomes expensive, zina becomes cheap, so keep weddings as simple and affordable as possible.” ~ Dr. Bilal Philips

A long time ago, I knew this old friend of mine. Saat kami pertama kali berkenalan, teman saya itu, sebut saja namanya A, masih single. Tak lama kemudian ia menikah. Saya pun mulai mengikuti episode hidupnya yang baru, walau hanya melalui jendela sosial media. Dari mulai prosesi persiapan pernikahan, her big day, sampai honeymoon.

Teman saya itu menikah dengan laki-laki yang sangat berkecukupan dalam masalah materi. Pesta pernikahannya terhitung megah. Makanan berlimpah, dekorasi mewah, souvenir mahal, gaun yang menawan. Banyak mengundang decak kagum para tamu. Tak lama, mereka honeymoon ke salah satu tempat yang cukup romantis dan terkenal. Yang pastinya, memakan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit.

Foto-foto romantis ala-ala newlywed mereka, mulai bertebaran di linimasa saya. Kata-kata cinta dan caption penuh kemesraan, hampir tiap hari saya dapati dari wall keduanya. Baper-able banget deh, apalagi buat yang masih jomblo. Ehem.

“Such a dream wedding, goaaaalsss banget…”

Itu kata teman-teman mereka.

Beberapa bulan kemudian, pemandangan penuh kemesraan itu perlahan mulai memudar. Yang tadinya hobi banget posting foto pasangan atau candid berduaan dengan caption penuh pujian, kini amat sangat jarang.

Jujur, saya sempat heran, karena sangat drastis sekali perubahannya. Beda ya sama mereka yang memang jarang atau bahkan tidak pernah posting kemesraan dengan pasangan di sosial media. Ketika tidak lagi posting, tidak akan bikin orang lain bertanya-tanya.

Tak berselang lama, saya dapat kabar dari teman saya yang lain bahwa rumah tangga keduanya tengah bermasalah.

Yang saya dengar, sang istri sempat kaget dengan karakter asli suaminya. Yang tadinya lembut dan penuh perhatian, berubah jadi cuek dan dingin. Saat kondisi istrinya drop karena sedang hamil, sang suami terkesan cuek dan tak mau tahu. Bahkan menyuruh sang istri mengurus sendiri dirinya yang sedang sakit.

Sang istri sempat shock. Ia tidak menyangka, suami yang di awal pernikahan begitu lembut dan romantis, berubah menjadi pribadi yang jauh dari harapannya. Rasa cinta terhadapnya seolah sirna.

Namun, apa daya.. Ia merasa sangat bergantung terhadap suaminya dalam sisi materi. Terlebih sang suami adalah tipe yang sangat dominan dan superior dalam rumah tangga mereka berdua.

Maka ia tak bisa banyak menuntut apa yang harusnya menjadi haknya sebagai seorang istri. Ia hanya bisa bersabar, dan terus bersabar. Terus mendo’akan agar suatu hari suaminya kembali seperti awal di mana mereka berkenalan dan memutuskan untuk menikah.

Ada lagi cerita berbeda dari teman yang berbeda…

Teman saya, sebut saja B, menyelenggarakan pesta pernikahannya dengan sangat megah. Resepsinya di gedung yang cukup ternama, kesan glamornya dapet banget. Saat itu, sekitar 12 tahun yang lalu, pesta itu menghabiskan dana hingga puluhan juta rupiah.

Padahal saya tahu, ia bukanlah orang berada. Tidak di bawah rata-rata, tapi juga tidak bisa dibilang sangat berkecukupan. Biasa-biasa saja. Kurang lebih sepekan setelah pernikahannya, saya mendengar kabar ia menjual motornya. Alasannya untuk biaya hidup, untuk makan.

Dalam hati saya terheran-heran.. Bisa ngadain resepsi sampai puluhan juta, kemudian menyambung hidup dengan menjual barang-barang? Trus buat apa pesta mewah tapi belum tahu sebulan ke depan bakal makan apa? #sigh

Saya yang saat itu belum menikah, berjanji dan bertekad kuat untuk tidak berlebihan ketika mengadakan walimah nanti. Cukup yang sederhana, sesuai kemampuan. Tidak memaksakan budget di luar kesanggupan calon suami. It’s simple, karena saya tidak mau jadi beban orang lain.

Cerita-cerita di atas hanyalah sepenggal kisah dari episode-episode kehidupan yang pernah saya dengar. I feel sorry for them both. And I wish them happiness, I pray all the best for them.

Those (bitter) stories, always remind me of this deep and meaningful phrase:

“The life after the wedding day is your ‘real’ married life”

Kehidupan yang nyata, adalah kehidupan setelah pernikahan. Banyak calon pasangan yang hanya terfokus pada hari H, sampai melupakan dan mengabaikan apa yang akan terjadi setelahnya.

Pesta pernikahan yang mewah dan glamor, bulan madu ke resor dan tempat wisata terkenal, nominal mahar yang selangit, hadiah pernikahan yang serba “wah” sampai potret kemesraan yang bikin baper para jomblowan dan jomblowati di luar sana…

Sama sekali bukan jaminan pernikahan yang sukses dan bahagia. Never in a million years.

I’ve been married my spouse for ten years, alhamdulillah. For us those material things are not, never, the most important thing in marriage. The life after the wedding day is more important than a luxurious and unforgettable ‘big day’. That is the true meaning of relationship.

Kita sering dibuat terkejut dengan masalah rumah tangga orang lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Kita sering dibuat tak percaya oleh kabar perpisahan pasangan yang di mata kita adalah perfect relationship goals.

“Ya ampun nggak nyangka banget loh kalo mereka itu bermasalah rumah tangganya. Kayaknya perfect couple banget deh. Bahkan belum lama ini posting foto berdua dengan caption mesra di sosmednya. Still can’t believe their relationship came to an end…”

That’s the (sad) reality of marriage life. Marriage is not always about sunshine and laughters. Not always about butterflies and rainbow in the sky. It’s about mundane moments filled with unknowns. It’s about to keep walking and holding each other’s hands through a bunch of rainstorms.

Saya sendiri, lebih suka prosesi pernikahan yang sederhana dan apa adanya tapi terasa sakralnya dibanding yang megah dan mewah namun hanya menonjolkan sisi materi dibanding kesakralannya. 

Dari mulai proses ta’aruf, khitbah sampai walimah.. Sebentar, sederhana, mudah, barakah. Masya Allah.

Jauh sebelum saya menikah, bahkan belum mengenal calon suami, saya memang menginginkan proses walimah yang sederhana. Tanpa menghilangkan kesakralan pernikahan itu sendiri. Karena bagi kami, yang terpenting dari sebuah prosesi pernikahan adalah sah dan barakahnya.

Tidak perlu undangan mewah, gedung megah, makanan lezat berlimpah, atau busana rancangan desainer ternama. Saya hanya tidak ingin memberatkan calon suami saya kala itu, karena bukan kemegahan yang terpenting bagi saya.

Kehadiran orang-orang terdekat, do’a, dukungan dan nasihat mereka adalah yang paling saya butuhkan. Dan karena cinta, saya tidak ingin membuat yang sebenarnya mudah menjadi rumit.

Tidak, nikahilah saya dengan apa yang engkau punya. Karena saya bukan benda yang bisa dinilai dengan kebendaan pula.

Dan karena, ada hal lain yang jauh lebih penting dari sebuah pesta satu hari yang megah dan meriah.. hari-hari setelah pesta pernikahan nanti, jauh lebih berarti bagi kami.

Untuk kalian yang berencana untuk menikah dalam waktu dekat, jangan sekalipun menganggap bahwa proses pernikahan itu memberatkan. Hapus mindset bahwa pernikahan itu sebuah beban. Harus punya ini itu sebelum menikah. Resepsinya pun harus cetar dan tak terlupakan oleh para tamu.

Islam itu agama pertengahan, tidak menyepelekan, namun juga tidak memberatkan. Jika memang sudah siap dan sangat butuh untuk menikah demi menjaga kehormatan, maka berusahalah sekuat tenaga untuk mempersiapkannya dan melangkahlah dengan bismillaah..

Jika memang hanya mampu mengundang sedikit orang, maka lakukanlah. Jika memang hanya mampu menyajikan menu seadanya, maka lakukanlah. Jika memang hanya mampu menyelenggarakan pesta ala kadarnya yang sederhana, maka lakukanlah.. 

Marriage is not always about material things.

Carilah seseorang yang bersedia mendampingi dari bawah, memulai segalanya dari titik nol. Dari mulai belum punya apa-apa sampai sudah punya segalanya. Setia dari awal sampai akhir. Karena kesuksesan yang diraih bersama setelah jatuh bangun dalam perjuangan akan jauh lebih manis terasa.

Terlebih lagi, ingatlah janji Allah dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3:

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah maka Allah akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”

Jadi ketika seseorang itu sudah kauridhai akhlak dan agamanya, permudahlah segala sesuatunya. Karena sesungguhnya Allah juga akan mempermudah urusan mereka yang menikah dengan niat menjaga kehormatan..

Bismillaah, bersama bergenggaman tangan menapaki jalan juang, dengan dia yang engkau cinta.. Adakah hal lain yang lebih membahagiakan? 🙂

~ Jakarta, September 2017… because there are things money can’t buy..

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

 [ image source: Pinterest ]

Advertisement

9 thoughts on “Life After the Wedding Day

  1. Aku sering baca-baca di forum tentang “life after the wedding day” ini yang ternyata sebagian besar isinya mungkin engga sesuai ekspekstasi kita “before the wedding day” jadi sudah engga begitu heran kalo setelah married ternyata pasangannya gini gini gini hehe 😁

    Ya semoga saja kita semua dapet jodoh yang terbaik dari yang terbaik, amin 🙏🙏

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.