“You don’t have to attend every argument you’re invited to”.
Satu kalimat yang menjadi pedoman saya dalam bersosial media. Di tengah riuhnya perdebatan di kolom komentar dan status, rasanya lebih aman untuk memilih berhati-hati sebelum nimbrung ke dalam suatu topik yang sedang hangat dibicarakan.
Saya paling tidak suka berdebat, dan sebisa mungkin menghindari perdebatan tanpa alasan yang kuat. Oleh karenanya, ketika terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, sekali dua kali ngasih argumen/hujjah dengan dalil shahih, bagi saya itu sudah lebih dari cukup.
Apalagi jika pembahasannya muter-muter di pokok yang sama, itu-itu aja. Disodorkan argumen yang valid, masih ngeyel. Lama-lama percuma dijelasin terus juga, nggak bakal ketemu. Lha wong udah beda sudut pandang dan pemahaman.
Bagi saya, diskusi yes, debat no. Apa bedanya diskusi sama debat? Diskusi pakai hujjah/dalil yang shahih/valid, sedang debat pakai urat alias mengedepankan emosi dan perasaan. Seringnya dibumbui dengan personal attack kalo udah kepepet dan kalah langkah.
Dalam diskusi, kedua belah pihak berusaha bicara dengan kepala dingin. Sedang dalam perdebatan, dua-duanya (atau salah satunya) ngegas dan serba nggak mau kalah. Di sini saya lebih memilih prinsip “yang waras ngalah”.
Ada orang-orang yang memang mencari kebenaran (dengan berdiskusi), tapi ada juga yang hanya mencari pembenaran dengan mempersoalkan hal-hal yang sebetulnya sudah jelas dan terang benderang. Dijelasin kalo itu salah, itu syubhat, masih ngeyel.
Ada juga yang sengaja memancing lawan bicaranya untuk berdebat, hanya untuk menjatuhkan. Dan merasa menang ketika lawan bicaranya memilih diam dan tidak menanggapi pancingannya. Seakan dengan diamnya, ia kalah dan tak punya argumen untuk membantah.
Little did they know, terkadang seseorang itu diam dan memilih untuk menutup obrolan karena menyadari bahwa sebuah pembicaraan itu sia-sia, nggak membawa manfaat, bahkan malah berujung dosa.
Saya contohnya, kalau sudah sampai mengabaikan lawan bicara dan menyudahi pembicaraan tandanya sudah malas untuk melanjutkan. Saya meyakini bahwa tidak semua argumen yang datang harus dipatahkan. Some people don’t worth a conversation. Or, an explanation.
Satu hal yang selalu saya pegang sebagai prinsip: saya tidak akan memaksa orang lain untuk sependapat dengan saya. Maka jangan pula memaksa saya untuk mengikuti pendapat orang lain yang berseberangan dengan pemahaman saya. Menyampaikan silakan saja, tapi memaksa? Big no.
Berbeda sikap dan pandangan silakan, tapi tak perlu berlebihan menyikapinya, dan tak perlu sampai memaksakan kehendak terhadap orang lain. Perbedaan itu niscaya, tidak mungkin semua orang berpendapat sama dengan kita. So accept it and be okay with that.
Jika memang kita yakin bahwa apa yang kita yakini dan jalani ini benar, maka tak perlu ribut mencari dukungan dari pihak lain. Apalagi sampai menempuh cara-cara curang dan berusaha menjatuhkan orang lain yang berseberangan dengan kita.
Ketika menemukan satu postingan yang tidak berkenan di hati atau mengandung syubhat, ada baiknya di-hide atau skip saja. Jangan malah terus dibaca sampai komentar terakhir. Jangan pula ngerusuh di postingan itu karena merasa nggak sependapat.
Tak ada gunanya terus memperpanjang pembicaraan yang sia-sia. Malah kita berdosa karena berbantah-bantahan berakibat mengeraskan hati, meski kita berada di atas kebenaran.
Biasanya, jika merasa tidak sependapat dengan seseorang, saya memilih untuk menuliskannya dari sudut pandang saya sendiri, di rumah (wall, blog) saya sendiri. Saya tak suka merusuh di postingan orang lain. Apalagi sampai berantem atau ribut di status orang. Hal yang sangat saya hindari.
Tidak suka dengan postingan seseorang? Termasuk saya? Simple, tinggal hide, unfollow, unfriend, remove, atau block kalau perlu. Don’t bother wasting your time with those unnecessary and pointless conversations.
“Kok diremove sih, emang situ udah pasti suci dan mereka udah pasti penuh dosa?”
“Bukannya harus bersabar menghadapi keanekaragaman karakter manusia di sosmed?”
“Ih, sumbu pendek banget sih kamyuuu…?”
Well, for every decision I made, I have my own reason. Syarat utama bersosmed bagi saya adalah situasi yang nyaman dan kondusif. Tidak ada kata-kata kasar, umpatan, celaan, nyinyirisme setiap saat, provokasi, ajang pamer berlebihan, dan berbagai perilaku negatif lainnya.
Daripada berdebat atau puasa nggak sosmed-an, mending saya sweeping aka nyapuin timeline. Ini rumah saya, hak saya atuh untuk ngatur-ngatur siapa yang saya sukai dan tidak. Dan saya menghormati keputusan orang lain yang meremove saya dari akun sosmednya. It’s okay. Mutual respect.
Btw, jarang-jarang saya ngeremove orang. Kalo nggak merasa sangat tidak nyaman, biasanya masih saya tahan-tahan untuk tidak klik unfriend, paling hanya hide atau unfollow aja. Jadi, kalau pada akhirnya saya memutuskan untuk meremove seseorang, sudah pasti karena alasan yang kuat.
Atau seringnya pas lagi bebersih friendlist supaya ada space lebih untuk teman-teman baru. Karena sering dapat notifikasi full (biasanya di Facebook), jadi mau tidak mau harus mengurangi jumlah teman. Mereka yang tidak saya kenal secara personal/dekat, jarang aktif dan jarang interaksi terpaksa saya remove supaya bisa menerima permintaan pertemanan baru.
Dear… following doesn’t mean being friends, unfollowing doesn’t mean being enemies.
Memutuskan untuk unfriend seseorang di dunia maya, bukan berarti memutuskan tali silaturahmi. Masih banyak sarana lain untuk berinteraksi, nggak mesti di sosmed. Sometimes it’s not you, it’s your social media behavior. Ada orang-orang yang cukup kita kenal di dunia nyata, tak perlu kita bawa serta ke dunia maya. Begitu juga sebaliknya.
Justru bagi saya, memutuskan untuk berteman kembali atau tidak berteman lagi dengan seseorang adalah demi kebaikan bersama. Lebih baik tidak berteman, jika pertemanan hanya membawa mudharat saja. Memperkeruh suasana dan mengotori hati. Daripada saling sindir dan nyinyir, atau merusuh di postingan yang kontroversial, lebih baik celah yang dapat mencetuskan perselisihan itu ditutup saja.
Pastikan timeline socmed kita bersih dan hanya memberi pengaruh positif, karena bergaul dengan orang-orang yang positif banyak manfaatnya, begitu juga sebaliknya. Positivity is like negativity, it’s contagious.
Socmedmu, rumahmu. Dirimu berhak untuk memilih siapa saja yang boleh masuk, juga mempersilakan siapa saja untuk keluar jika bagimu tak berkenan. Demikian juga halnya dengan akun socmed orang lain. Jangan baper kalau di-remove atau di-unfollow. Itu hak mereka, kok.
This is what I called the freedom of speech. Agree to disagree. Sepakat untuk tidak sepakat. Ingatlah bahwa banyak berdebat itu akan mengeraskan hati. Dan tidaklah melahirkan melainkan kebencian dan permusuhan.
“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.” (HR. Tirmidzi)
~ Jakarta, February 2018.. a deep reminder to myself.
© aisyafra.wordpress.com
[ image source: Pixabay ]