“Barangsiapa yang ketika membeli buku tidak merasa nikmat melebihi nikmatnya membelanjakan harta untuk orang yang dicintai , atau untuk mendirikan bangunan, berarti dia belum mencintai ilmu.” (Al Jahizh dalam Al-Hayawan 1/55, dikutip dari buku Gila Baca Ala Ulama)
Dulu waktu masih single, saya selalu menyisihkan budget lebih untuk membeli buku setiap bulannya. Walaupun cuma satu buku. One month one book. Meski cuma buku saku, pokoknya harus.
Tiap lihat buku baru yang menarik di katalog majalah atau toko buku, langsung masuk daftar inceran. Buku-buku yang wajib punya saking bagusnya. Selebihnya sih pinjem aja, apalagi yang tebel dan harganya muahal. Hahahaha.
Surga dunia versi saya adalah sebuah tempat khusus bernama toko buku. Pulang kajian, langsung cusss ke Kwitang buat hunting buku. Atau waktu zaman sekolah dulu, mampir ke toko buku langganan yang berada di mall tak jauh dari sekolah.
Buku apa? Buku apa aja. Pocket dictionary, buku agama (my fave was about tazkiyatun nafs), buku sejarah/sirah, buku yang menggugah inspirasi dan semacamnya.
Waktu masih berstatus pelajar dengan uang saku pas-pasan, jujur aja saya ke toko buku cuma buat numpang baca. Baca komik, buku cerita, buku pelajaran atau bundel kumpulan soal-soal. Mau beli nggak sanggup. Akhirnya cuma window shopping sambil beli stationery yang murah meriah.
Makan-makan? Kulineran? Terhitung sangat jarang sekali. Selain karena tidak terlalu suka makan di luar rumah (saya penggemar berat masakan emak), saya lebih memilih budget buat makan di luar ditabung untuk dibelikan buku.
Kalau jalan ke mall, temen-temen saya udah hapal banget, yang saya cari pasti toko buku. Apalagi kalo pas sale akhir tahun, banyak buku diskon gila-gilaan. Wahhh rasanya pengen nginep di situ sekalian! 🤣
Saya sering menyesal ketika membeli barang-barang lain (yang setelah dibeli, baru sadar ternyata nggak butuh-butuh banget). Tapi tidak dengan buku. Bagi saya, buku adalah investasi berharga. Warisan bagi anak cucu saya kelak.
“You can’t buy happiness, but you can buy books and that’s kind of the same thing.” –Anonymous
Dulu sewaktu lajang, belum menikah, mahar impian saya adalah seperangkat kitab tafsir Ibnu Katsir lengkap. Bukan emas, perhiasan atau gadget. Tapi buku.
Saya menginginkan tanda cinta yang abadi, sesuatu yang tak lekang akan waktu. Selain itu, sesuatu itu haruslah membawa manfaat bagi kami berdua, dan anak-anak kami kelak. Bukan untuk saya saja.
Dulu, saya memiliki waktu khusus untuk membaca. Biasanya siang hari sebelum tidur, wajib baca minimal dua atau tiga lembar. Malam hari sebelum tidur, kadang buka buku lagi, bergantian dengan jadwal menulis jurnal harian.
Karena rutin setiap hari, maka dalam waktu sebulan saya bisa menamatkan beberapa buku. Itulah alasan mengapa saya harus rutin membeli buku baru. Karena buku-buku lama sudah habis dibaca! 😄
Pokoknya hidup saya (dulu) sangat teratur! Dari mulai melek mata sampai merem lagi, jadwal udah rapi tersusun. Sekarang juga masih teratur sih, cuma ya udah banyak improvisasinya 😂😂😂
Salah satu keuntungan punya lapak buku (atau punya pasangan yang punya lapak buku 😜) yaitu bisa bebas milih buku mana aja yang mau kita baca. Tinggal bilang dan tunjuk aja mau yang mana. Alhamdulillah.
Jualan buku itu ladang amal dalam menebarkan cahaya ilmu. Alhamdulillaah dari yang awalnya sedikit, kini sudah mulai bertambah. Yang tadinya cuma beli sesuai pesanan, sekarang sudah rutin nyetok di rumah.
Memiliki buku, untuk koleksi pribadi maupun sebagai lahan bisnis, tak pernah merugi. Kalau tak ada yang beli, ya dibaca sendiri. Nggak ada expiry datenya lagi. Apalagi kitab-kitab ilmu syar’i yang tetap relevan sepanjang zaman.
There is no friend as loyal as a book, Ernest Hemingway said. Buku telah setia menemani hari-hari saya sejak masih balita. Buku juga yang membuat saya semangat belajar membaca, karena ingin bisa membaca sendiri tanpa harus merepotkan orang lain untuk membacakannya.
Buku dan ilmu bahasa, adalah dua sahabat lama yang tak pernah terpisahkan. Semakin seseorang rajin membaca, makin kaya ia akan kosa kata, makin istimewa pula kemampuan berbahasanya. Istilah kerennya, mengasah kecerdasan linguistik.
Ia tak lagi sulit untuk mengungkapkan isi hatinya, baik lewat lisan maupun tulisan. Semua ide dan gagasan yang bergemuruh di kepala mengalir bagai air. Alami, tanpa kesulitan berarti.
Akhir-akhir ini, saya mulai merutinkan kembali aktivitas membaca buku. Menyediakan waktu khusus untuk membaca setiap hari, walaupun hanya beberapa halaman.
Di era kecanggihan teknologi ini, terkadang saya merindukan saat-saat indah bertualang ke dunia lain melalui buku. Buku fisik yang bisa digenggam, diraba, dipeluk. Tenggelam dalam alam pikiran sendiri dan melupakan dunia nyata untuk sejenak saja.
Dan sungguh bagian terberat ketika menepati sebuah janji atau komitmen adalah konsisten di atasnya. Betapa godaan untuk membuka gadget itu begitu besar tatkala kita sedang membaca. Seolah-olah lampu notifikasi yang berkerlap-kerlip itu terus memanggil-manggil untuk dibuka 🙈
Oleh karena itu, demi mewujudkan suasana membaca yang nyaman dan jauh dari godaan, saya sengaja mematikan hape atau mengaktifkan fitur airplane mode. Jadi nggak ada yang kedap kedip lagi. Nggak ada yang bikin hati kebat-kebit dan pikiran ini terpecah lagi.
Di tengah kemudahan untuk meraih ilmu dan mengakses informasi lewat buku, saya justru berasyik masuk dengan gadget. Padahal dulu sebelum ada gadget, kemana-mana yang dibawa ya buku. A must have item in my backpack.
Kadang di gadget saya baca ebook juga sih. Tapi tetap aja rasanya beda sama baca buku fisik. Entah kenapa, baca buku fisik itu lebih dapet aja feelnya. Lebih berasa seriusnya.
Aromanya yang khas, aktivitas membalik lembar demi lembarnya, menandai bagian yang penting dengan stabilo, bahkan menyampul covernya dengan sampul plastik. Sesuatu yang tidak bisa ditemukan di ebook reader manapun.
“There are worse crimes than burning books. One of them is not reading them.” –Joseph Brodsky
Dulu, zaman harus bersusah payah menyisihkan dana bulanan untuk membeli buku, saya malah rajin melahap semua buku. Bahkan sampai pinjam ke teman dan perpustakaan. Selalu excited lihat rak berisi buku. Penasaran kira-kira apa aja isinya..
Kini, mau buku yang mana, tinggal minta, langsung tersedia. Sangat dimudahkan, alhamdulillaah. Tapi kok ya malah jadi males.. Semangat untuk membaca tetiba melempem bagai kerupuk disiram sambel. Huhuhu.
Sekilas ketika melihat lemari buku di sudut ruang tamu, ada setitik rasa bersalah menghampiri.. Begitu banyak buku yang sudah dikoleksi, tapi belum rampung juga dibaca. Belinya doang semangat, bacanya males. Duh! #selftoyor
Semoga kali ini saya istiqamah di atas azzam untuk balikan dengan si mantan alias si buku ini. Hello books, my old friend… This time I will make you a priority. Bukan baca hanya kalau ada waktu sisa, tapi luangkan waktu hanya untuk membaca.
Teruntuk seseorang di sana, terima kasih atas suntikan semangat (dan juga sumbangan bukunya). Terkadang, kita butuh seseorang yang terus memberikan support agar tetap semangat menekuri buku dan mengambil hikmah darinya. Agar nyala api itu tidak padam (kembali).
Do’akan saya ya! 😉
~ Jakarta, April 2018.. reading gives life more life ❤
Semoga kita diberi keistiqomahan oleh Allah untuk membaca buku dan mempelajari ilmu. Semangat.
LikeLike
Aamiin…
LikeLiked by 1 person
saya punya buku yang ada di foto yang paling atas…
LikeLiked by 1 person