Ain’t No Perfect Mother

A long time ago, saya termasuk barisan ibu-ibu perfeksionis yang semuanya harus serba tertata dan selesai tepat pada waktunya. Kebiasaan dari masih lajang dulu, apa-apa serba terencana dan terorganisir.

Sesaat setelah jadi ibu baru, saya sempat stress karena expectation vs. reality yang sangat jauh berbeda. Jam segini biasanya rumah udah rapi, cucian udah bersih, masakan udah mateng.. Sekarang…. (((nangis di pojokan)))

Setelah mengalami rollercoaster emosi plus baby blues pasca kelahiran anak pertama.. Beberapa saat sebelum hadirnya anak kedua, saya memutuskan untuk (harus) lebih rileks menjalani profesi kebanggaan saya: menjadi seorang ibu.

As a retired perfectionist, tiap hari memang idealnya masak. Menu yang bervariasi plus gizi seimbang. Meski tiap pagi momen bengong di depan kulkas atau galau di tukang sayur itu tetap terjadi, bahkan setelah bertahun-tahun menjadi seorang istri.

Apalagi untuk menu MPASI rumahan. Dibela-belain gugling sana sini, hunting alat tempur bermacam rupa agar proses bikinnya jadi lebih semangat. Terutama di fase-fase GTM yang sangat menguras energi dan kewarasan jiwa.

Mau pergi keluar memang enaknya rumah udah rapi. Bak cucian piring bersih, lantai udah disapu, cucian baju udah dijemur, nggak ada mainan atau barang yang berserakan di lantai.

Itu idealnya. I-d-e-a-l-n-y-a.

Tapiiii.. Kadang keadaan tidak memungkinkan untuk mengerjakan semua itu. Terlebih jika kita punya banyak anak, punya bayi, punya pekerjaan sampingan, atau tidak menggunakan jasa ART.

Saya sadar, saya harus menurunkan standar ‘kesempurnaan’ itu agar jiwa lebih waras. Saya sadar, saya kerja untuk hidup, bukan hidup untuk kerja. Saya nggak mau ‘dikerjain’ kerjaan sampai stress berkepanjangan dan lupa menikmati hidup.

Kalau bisa ngerjain sesuai jadwal dan tepat waktu, alhamdulillah. Kalau qadarullah nggak bisa, ya selow. Kalau sempat masak, ya masak, kalau nggak sempat, kurang sehat, atau lagi nggak mood masak, ya beli mateng aja.

Buat saya, pekerjaan rumah itu cukup dikerjakan sebisanya, semampunya. Nggak usah ngoyo tiap hari wajib masak, lantai harus cling setiap saat, perabot tertata rapi di tempatnya, dan semua tugas sudah dikerjakan sampai tuntas.

Saya putuskan untuk melepaskan hal-hal yang berada di luar kendali saya. I let go the obsession of being perfect. Don’t sweat the small stuff, they said. So I refuse to let the little things take over my life. Hidup terlalu berharga untuk memikirkan hal-hal nggak penting.

Dengan cara ini, saya merasa lebih menikmati hidup dengan segala dinamika (baca: keriweuhan)nya. Saya juga lebih banyak punya waktu bersama anak-anak, tanpa terbebani tugas rumah yang tak pernah ada selesainya.

Saya juga mulai berhenti membandingkan diri dengan ibu-ibu lain. Nggak baperan liat ibu lain yang looks so super. Saya percaya bahwa tiap ibu itu istimewa. Prinsip saya, “loe ya loe, gue ya gue, we’re different, we’re unique in our own way, and we (or just me?) are totally okay with that.”

Saya juga tidak merasa sedang berpacu dalam ajang kompetisi dengan ibu-ibu lain. Why compete when you can collaborate? Beda karakter, beda kondisi, beda medan tempur, beda tantangan, beda suami, beda anak, masa iya mau disamain? Quite unfair, rite?

Mungkin sifat bawaan saya yang agak cuek ini memudahkan saya untuk nggak baperan. Jadi masa-masa envy berat liat sosok ibu hebat di real life atau feeds emak-emak ketjeh di sosmed itu udah sangat jauh terlewati. No more jealousy, hard feeling, or insecurities.

Terinspirasi boleh, tapi sangat terbebani karena (merasa) tidak sehebat dan sesempurna mereka, no way. Tiap ibu itu spesial, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

“A flower does not think of competing with the flower next to it. It just blooms.”

Saya juga selalu berusaha meluangkan waktu untuk diri sendiri. Melakukan kegiatan yang saya senangi. Membaca, ngemil, ngobrol, nulis, masak menu kesukaan, chit chat di grup WA, or laughing at crazy and hilarious memes 🤣

Being a mother is hard. Bayangin aja, apa ada pekerjaan yang jobdesc-nya segambreng (kadang ada yang disambi cari nafkah tambahan) dengan jam kerja 24 jam sehari, 7 hari sepekan non stop tanpa hari libur? Tell me if you find one.

Belum lagi kelar soal beratnya tugas rumah, kita dihadapkan pada beratnya nyinyiran orang. Ibu nggak becus ngurus anak, ibu yang nelantarin anak karena kerja sampingan, ibu yang nggak bisa bantu cari duit bisanya cuma minta dari suami lah..

OOT dikit yaa.. Suka heran deh sama yang hobi nyinyir ke ibu rumah tangga yang nggak kerja, bisanya cuma minta suami.. Yaiyalah wajar minta ke suami, suami sendiri kan? Bukan suami orang, apalagi suami situ? 😜

Nyinyiran tetangga atau netijen emang berat, buuu.. Bisa meruntuhkan benteng pertahanan emosi yang selama ini kita bangun. Rasa sesak di dada yang kita tahan bertahun-tahun.. Bendungan air mata yang selama ini kita jaga agar tidak tumpah.. Mendadak semuanya jebol tak tertahankan lagi.

Ibu.. You are not the opinion of someone who doesn’t know you. Nggak perlu semua komentar orang dimasukin ke hati. Yang suka berjulid ria abaikan saja. Hidup itu jangan dibikin ribet. Yang nyakitin tinggalin, yang bikin bahagia, pertahanin. Simple kan?

Biasanya ya, yang banyak komentar ini itu, segala apa aja jadi bahan hosyip, justru yang nggak kenal betul siapa kita. Mereka dan mereka yang tadinya totally strangers mendadak jadi number one fans! Fans terselubung alias member jama’ah kepo mania 😛

Ibu, kalau udah berasa beraaatt banget di hati, jangan ditahan, jangan pura-pura semua baik-baik aja.. Let it go.. Lemesin, shayyy. Sharing your thoughts and loads with your partner or best friend will help a lot. Cry your heart out. Ngadu deh sama Allah.

Kalau pas lagi suntuk banget, coba break sejenak dari rutinitas.. Do the things you love. Have some alone time with yourself. Recharge your soul. And never forget to remind yourself: You are matter, you are loved. Seorang ibu itu berharga, dan berhak untuk bahagia.

Dear Ibu.. Anytime you feel drained and exhausted, physically and mentally.. Coba deh sesekali bahagiain diri sejenak menurut versi kita sendiri, sesederhana apapun itu.

If you are feeling full and happy.. Insya Allah seisi rumah akan tertular happy vibes dari diri kita. Yesss, happy vibes are contagious! So are the negative ones.

Nggak ada textbook untuk jadi ibu yang perfecto, kok. Dan kita juga nggak perlu jadi ibu yang S-E-M-P-U-R-N-A. Cakap dalam segala hal, pinter cari duit, cerdas ngajar segala subject, menguasai segala keterampilan khas perempuan, atau eksis di sosmed as a celebmom.

We don’t need to, and we don’t have to. All we need to do is striving our way to be the best version of ourselves, to be a better mother for our children. Keep learning, keep on progress. Your kids ain’t perfect, and so are you.

Karena anak kita nggak butuh ibu yang sempurna. They never think about your reputation. They never concern about what he said, she said. They didn’t care about your ‘competition’ with other moms.

But there is this one thing.. Mereka hanya butuh ibu yang menyayangi mereka apa adanya, dengan sepenuh dan setulus hatinya, tanpa syarat dan ketentuan berlaku. Unconditionally..

Sekali lagi, Ibu.. You only live once, make sure yours is worth living. Jadi, jangan lupa untuk bahagiaaa~! (/^▽^)/

~ Jakarta, on a peaceful morning of July 2018.. being a mother might mean that my hands are full, but so is my heart ❤

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pinterest ]

Advertisement

6 thoughts on “Ain’t No Perfect Mother

  1. MasyaAllah, thanks mba sdh menuliskan ini. Sekarang saya jd makin tersadarkan, gimana perjuangan ibu saya :””((( semoga Allah merahmati orangtua kita. Aamiin

    Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.