The Man Behind The Lens

Sering ada yang nanya ke saya,

“Mbak, kalo foto jilbab pake kamera digital ya? Apa pake kamera DSLR?”

Ada juga yang nanya ke suami,

“Itu Zafra motonya pake jasa (fotografer) ya? Bagus-bagus hasilnya..”

Dan jawabannya adalaaah…

Dari awal jualan, produk Zafra selalu dijepret pake kamera hape biasa. Merknya ganti-ganti, sesuai budget aja. Pernah pake Samsul, SNSV, terakhir pake Siomay.

“Btw, kok bisa pake kamera hape aja tapi hasilnya bening (kata orang-orang)?”

Masya Allah.. Padahal menurut saya ya masih kalah jauh sama brand-brand yang hire jasa fotografer. Masih banyak distorsinya 😁

Dari pengalaman pribadi, motret objek nggak harus pake kamera mahal, kok. Asal lightingnya pas, anglenya dapet, dan bisa ngeditnya, insya Allah hasilnya nggak kalah sama foto-foto kamera mahal. Don’t compare with DSLR or mirrorless yhaa.. Jauh cyinntt 😂

“Mbak kalo ngedit foto pake aplikasi apa?”

Zuzur, saya nggak ngerti pake sotosop. Semua foto hampir nggak pernah keluar dari hape. Proses jepret, edit, upload, semua mengandalkan hape. Praktis, portable, easy to use.

Makanya saya kalo mau ganti hape, ribetnya udah macem milih jodoh. Karena buat saya, hape itu partner kerja yang harus bisa multitasking dan siap diajak “tempur”. Harus mumpuni, terutama kualitas kamera dan manajemen RAM-nya.

Aplikasi yang paling sering saya pakai untuk edit foto, di antaranya Snapseed, Cymera, Aviary, Vscocam. Sedang buat bikin poster/template/watermark biasanya pake Canva, Phonto, Picsart.

“A lot of photographers think that if they buy a better camera they’ll be able to take better photographs. A better camera won’t do a thing for you if you don’t have anything in your head or in your heart.”

– Arnold Newman

Tujuan mengedit foto produk bagi saya, bukan supaya hasilnya jauh lebih cakep atau “instagrammable”, tapi supaya hasil foto lebih mendekati warna asli. Terutama jika lighting sedang tidak mendukung. Terlalu cerah atau terlalu minim cahaya.

As we know, ketika kita jual produk fashion, yang pertama dilihat orang adalah warnanya. Color, that very matters. Kedua, model/detailnya. Baru keseluruhan fotonya.

Kalau kita jual buku, kita foto sendiri bukunya, pas dateng warna covernya agak meleset dari warna di foto, jarang ada buyer yang complain. Bahkan mungkin nggak ada ya. Tapi kalo kita beli baju atau produk fashion lainnya? Warna beda jauh pasti diprotes dong.

Meski tidak sama persis karena resolusi layar tiap gadget berbeda-beda, setidaknya nggak meleset jauh lah dari warna aslinya. Dalam keterangan foto pun selalu dicantumkan bahwa akurasi warna asli dengan foto tidak 100% sama persis.

Ada beberapa warna kain yang sulit ditangkap kamera hape biasa. Apalagi ketika sesi pemotretan, cuaca sedang tidak bersahabat. Iya, saya selalu mengandalkan cahaya alami alias cahaya matahari buat motret. Tempatnya di teras lantai atas, tempat jemur baju lebih tepatnya.

Di studio ala-ala saya, untuk motret jilbab dengan view Flat Lay, waktu paling baik sekitar jam 6 sampai jam 8 pagi. Tergantung Subuhnya jam berapa. Kemarin motret inner antara jam 4 sampai jam 5.30 sore. Motret jilbab pakai manekin, idealnya antara jam 8.30 pagi sampai jam 9.30. Lebih dari itu biasanya cahaya udah nggak bagus.

Properti? Tbh saya nggak pinter main prop, lebih ke males kali yaa 🙈. Untuk foto produk biasanya saya menggunakan karpet bulu sebagai alas dan bunga/daun sintetis sebagai hiasan. Udah itu aja. Kadang karena nggak ada waktu juga mau eksperimen macem-macem.

Fotografi adalah salah satu hobi yang sangat mendukung profesi saya saat ini. Sebelum berjualan pun, saya udah hobi motret. Segala apa aja dijepret. But there’s one certain thing about me: saya suka motret, tapi nggak suka dipotret. Apalagi sengaja selfie. Not so meeee 😀

Kadang kalo liat foto-foto jadul, baik foto buat jualan atau yang diupload ke IG pribadi.. Suka gemes and the gregetan sendiri.. Kok dulu motonya asal banget gitu. Ngeditnya juga asal. Asa pengen ngedit ulang biar agak “bener” 😅

Salut sama fotografer-fotografer pemula yang bisa memaksimalkan hasil jepretannya via kamera hape. Yang hasil jepretannya ketjeh badai, meski dengan peralatan seadanya. Masya Allah.

Biasanya para food photographer nih. Rajin pula nyusun properti, sesuai dengan tema. Saya mah nyerah dah. Apalagi wajib setor foto dengan tema yang berbeda tiap hari. Kibarin bendera putih dulu ah 😂🏳

Buat para bakulers yang “cuma” punya kamera hape buat promosi jualannya.. Jangan berkecil hati. Buying a camera doesn’t make you a photographer. It’s not the camera, but who’s behind it.

I believe photography is always about techniques and emotions. It’s about, “the man behind the lens”. Kamera itu cuma device, alat. Skill dalam fotografi (meski skala odong-odong macem saya), matters the most.

Terus berlatih, jangan mudah merasa puas, jangan ragu memulai dan mencoba sesuatu yang baru. Kita harus pede dengan skill dan sense of art kita sendiri.

Selain pede, kita juga harus punya style dan signature sendiri. Dalam hal apapun. Termasuk dalam styling fotografi. Jangan sampai saking ngefansnya sama sesefotografer, sampai semua-muanya dijiplak dan ditiru.

“Be yourself. I much prefer seeing something, even it is clumsy, that doesn’t look like somebody else’s work.”

– William Klein

Terinspirasi dari berbagai sumber boleh, tapi kita tetap harus menciptakan gaya kita sendiri, sesuatu yang menjadi ciri khas, yang membedakan hasil jepretan kita dengan orang lain. Be original and uniquely you. A bit of different and anti-mainstream if you should (in a good way). That’s how you’ll stand out from the crowd.

Satu cita-cita terpendam saya ketika kelak -insya Allah- telah berusia senja, dan anak-anak sudah beranjak dewasa.. Pengen traveling ke berbagai tempat dengan strap kamera (dan kameranya, tentu!) tergantung di pundak. Just me, my partner in life, and my camera. Go to many interesting places to take pictures.

Menikmati excitement di belakang kamera, membidik objek-objek menarik, mengabadikan momen-momen untuk mengenangnya kembali. Nggak perlu kamera yang canggih, cukup yang bisa diandalkan untuk membekukan waktu dalam selembar foto meski sesaat. That’s all I’ve ever dreamed of.

~ Jakarta, October 2018.. “you don’t take a photograph, you make it.” 

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pixabay & Pinterest ]

Advertisement

One thought on “The Man Behind The Lens

  1. seperti catatan arbain rambey
    foto bagus itu banyak pengorbanannya
    karena fotografer itu nyari momen
    dan momen itu yang susah didapat
    gak semua orang bisa dapet

    Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.