Aku dan Fiksi

Dulu sekali, sebuah pertanyaan sering mampir kepada saya..

“Kak Meut, nggak tertarik nulis fiksi? Trus dibukukan gitu. Kalo udah siap terbit, aku nanti ikutan PO deh.. Hihihi..”

Jawaban saya kala itu..

“Duh, aku mah paling nggak bisa nulis fiksi. Soalnya sampai saat ini kok ya belum tertarik nulis fiksi.. Nggak bakat juga kali ya, heheu..”

Nggak tertarik nulis fiksi.. Apa karena saya nggak suka baca fiksi?

Eitss jangan salah, saya (dulu) penggemar berat hampir semua yang berbau fiksi. Cerpen, cerbung, novel , roman, komik, manga, whatever you name it, were definitely my sweetest escape, my favorite getaway.

Sejak kecil—sejak bisa membaca lebih tepatnya—tiap kemana-mana pasti bawaannya buku cerita. Tiap ditanya mau hadiah apa, pasti jawabnya buku. Bukan makanan, mainan, boneka atau jalan-jalan. Tapi buku.

Buku apa? Buku apa aja. Fiksi, terutama. Karena enak, nggak pakai mikir berat pas bacanya. Hahaha…

Waktu TK, di rumah berlangganan majalah Bobo. Juwita dan Si Sirik, Bona dan Rong-rong, Pak Janggut, sampai rubrik Arena Kecil dan Tak Disangka jadi bagian tak terpisahkan dari masa kecil saya.

Menginjak usia SD, saya suka banget sama karyanya Enid Blyton, terutama Lima Sekawan. Juga Trio Detektif karya Hitchcock. Ada yang minjem, ada yang dapat hadiah, ada yang hasil hunting di toko buku bekas, ada juga yang numpang baca di perpus sekolah.

Hampir tiap istirahat hobi nongkrong di perpus, apalagi pas lagi tongpes. Duh, berasa surgaaa…

Saya pernah jatuh cinta pada sebuah buku berjudul Ikhtisar Roman di lemari buku kecil di rumah. Dari buku tua yang sampulnya sudah lepas itu, saya jadi kenal judul-judul roman seperti Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Siti Nurbaya, Kasih Tak Sampai, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Sabai Nan Aluih, dll.

Kisah detektif juga salah satu kegemaran saya. Nama-nama seperti Sherlock Holmes, Dr. Watson, Hercule Poirot, Miss Marple, tidaklah asing bagi saya. Dan hampir semua serinya sudah khatam saya baca.

Manga? Komik? Definitely my favorite. Dari Candy-candy sampai Detective Conan, Serial Misteri sampai Serial Cantik, suka semua. Dan rata-rata dapet minjem atau nyewa sih, jarang beli.

Kisah misteri, thriller, dan horror adalah genre favorit saya. Dari Goosebumps sampai Fear Street. Edgar Allan Poe, Sidney Sheldon, sampai Mary Higgins Clark. Sempat suka banget sama komik-komiknya Junji Ito. Interesting, in a creepy way.

Setelah masuk ke dunia remaja—tepatnya waktu SMP, dan mulai mengenal lebih jauh tentang Islam, tiap bulan kami berlangganan majalah Annida, majalah remaja khusus cerita fiksi. Ibu langganan majalah Ummi, Bapak langganan majalah Sabili (ada yang ingat? 😁)

Nama-nama penulis FLP seperti Mbak HTR, Asma Nadia, Muthmainnah alias Maimon Herawati yang terkenal lewat serial Pingkan-nya, selalu saya tunggu-tunggu tiap bulannya. Termasuk rubrik Epik yang menurut saya greget bangettss.

Setelah kenal kajian sunnah, saya jadi lebih jarang baca fiksi. Beralih ke majalah sarat ilmu seperti El Fata, As Sunnah, Nikah (sekarang Sakinah) Fatawa, dan buku-buku yang membahas aqidah, fiqih, sirah, tazkiyatun nafs, dan ehem.. soal nikah 😛

Sekalinya punya novel, dapat dikasih teman. Novel Ayat-ayat Cinta yang hitsss banget kala itu. Saat itu belum ada filmnya. Jadi imajinasi saya saat itu betul-betul murni imajinasi sendiri.

Di saat para wanita mengidolakan sosok Fahri yang katanya high quality, saya justru sebel, kesel, dan diam-diam berdo’a dalam hati semoga nanti nggak punya suami model gini. Ish, lakik kok nggak tegas. Gemassh akutu. Hahaha. Terbawa emosi, pemirsahh 😆

Yes, I used to grow up reading fictions. Any kind of fictions. It’s a part of my childhood that shaped me up the way I am today. I love reading, and that makes me love writing.

But today, as I reach this stage of adulthood, dan setelah saya paham bagaimana cerita fiksi dari tinjauan syari’at, apalagi sampai membuatnya, dan kecanduan olehnya.. Saya benar-benar berusaha melepaskan diri dari addiction of reading fiction.

Tentunya perlahan-lahan, nggak bisa langsung drastis. Sesuatu yang telah menjadi habit selama bertahun-tahun tentu tidak mudah untuk dihilangkan sama sekali. Step by step, kadang masih suka ngintip dikit sih kalau ada judul yang seru, hehe..

Sesekali masih baca ketika ada waktu, tapi hitungannya udah jarang sekali. Itupun juga nggak ngikutin, apalagi sampai terhanyut, ikutan halu, dan terbawa-bawa di kehidupan nyata, kayak jaman muda dulu.

Malu lah udah tuwak, udah emak-emak. Masa-masa “fangirling” dan jatuh cinta sama fictional character itu udah lewat 😂

Begitu juga dengan menulis. Dari kecil saya memang nggak bakat mengarang. Maksudnya menceritakan secara detail hal-hal yang tidak terjadi atau hanya sebatas imajinasi.

Seperti yang pernah saya tulis di sini, saya pernah ikut kejuaraan mengarang tingkat sekolah, dan sukses gagal di penyisihan awal. Padahal saya udah ngotot nggak mau ikut subject mengarang, maunya IPA, eh pak guru memaksa. Yoweslah.

Until today, I prefer write what I think, feel and say. Something real. Bukan rekaan atau fiksi. Sesuatu yang benar terjadi. Susah aja gitu mau nulis sesuatu yang nggak dialami sendiri.

Pernah waktu lagi tergila-gila sama serial Goosebumps, saya coba nulis cerita mirip-mirip “Night of the Living Dummy” alias boneka Slappy. Udah sampai 5 bab, eh mandeg. Writer’s block.

And that unfinished project ended up in waste basket. Jangankan dibaca orang lain atau diterbitkan, dibaca sendiri aja malu-maluin. Plot holenya ampuuun deh. Temanya juga aneh. Kalau diingat-ingat, jadi geli sendiri 🙈

Saat itu saya sadar, writing fiction is definitely not my cup of tea. Mungkin saya bisa menulis, tapi bukan menulis fiksi. Maybe it’s something else. Something to think about, just like this blog.

Tiap orang memiliki preferensi dan skill masing-masing. Hampir semua tulisan saya di blog ini adalah kisah nyata yang saya ceritakan kembali, atau opini pribadi saya sendiri. Jadi bukan dongeng atau rekaan ya saudara-saudara..

Kalaupun ada nama-nama yang disamarkan, sengaja untuk melindungi privasi yang bersangkutan. Bukan supaya nggak ketahuan kalo saya lagi mengarang bebas. As you know, saya seringkali nulis karena habis dicurhatin orang 😃

“Mbak, request dong nulis soal suami yang jarang bantuin istri di rumah.. Cuek aja padahal istri pontang panting kerepotan..”

“Umm, ada nggak tulisan soal perempuan yang genit, sukanya nggodain suami orang. Tapi cuma buat kepuasan batin aja, nggak serius mau ngelakor..”

“Kak, bikin dong tulisan soal orang yang hobi ngutang buat beli barang-barang branded. Udah boleh ngutang, dipamerin lagi di sosmed..”

Huakakakak. Ada-ada aja emang rikuesan yang masuk, seringnya ajaib dan sama sekali nggak pernah terpikir sebelumnya. Subhanallaah.. Problematika hidup itu macam-macam, ya.

Sering saya cengar-cengir sendiri saat buka email atau chat dari teman dan reader blog ini..

“Kak, kenapa sih kalo nulis suka relate banget sama perasaanku? Sering loh aku mbatin sesuatu. Eh nggak lama Kakak nulis hal yang sama persis dengan yang aku rasain..”

“Mbak Tia, aku tadi baca tulisan anti yang ini (menyertakan screnshoot).. Alhamdulillah mbak Tia ngeluarin uneg-uneg akohh.. Nggak bisa lebih setuju lagi dari ini..”

“Finallyyy.. Tulisan tentang ini keluar juga, dari dulu nunggu-nunggu, aku mau nulis tapi maju mundur. Nunggu Kak Meut nulis aja, lah.. Eh alhamdulillah akhirnya terbit juga. Aku jadi merasa terwakilkan. Hahahaha. Ijin share ya kakkk.. “

Alhamdulillah, haadza min fadhli Rabbi. Bukan karena saya yang hebat, tapi Allah yang memudahkan saya untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Karena bagi saya menulis itu semacam terapi, salah satu cara untuk melegakan isi hati.

Tanpa disadari, dengerin orang curhat itu menambah beban emosional kita, lho. Apalagi yang curhatnya beraaaaat dan menguras air mata. Mau nggak mau kepikiran terus. Nah, salah satu cara meringankan beban tersebut adalah dengan menuliskannya.

Saya bukan super author yang bisa nulis buku bagus atau storyteller yang mampu mengubah jalan hidup orang lain, saya cuma emak-emak berdaster yang suka galau ketika anak tidur…

“Mau ikutan tidur mumpung anak tidur, apa lanjut bebenah?”

And ended up not doing them both, but scrolling social media timeline (while eating some snacks) ’til the time is up. Who’s with me? ☝️

Ada banyak cara untuk berekspresi atau menginspirasi. Baik itu menulis fiksi, menuangkan opini pribadi berdasarkan fakta, atau menceritakan kembali sebuah kejadian nyata. Selama tidak menabrak rambu-rambu syar’i, maka lakukanlah..

Menulis atau membaca cerita fiksi tidak mutlak terlarang, hukumnya pun bisa berubah dari mubah menjadi syubhat, makruh, atau bahkan haram. Tergantung kontennya. Tergantung efek yang ditimbulkannya.

Jangan sampai karena keasyikan baca fiksi, hal-hal lain jadi terlalaikan. Karena bagi saya yang pernah mengalaminya, memang baca cerita fiksi itu berasa candu banget. Nagih dan nagih terus kalau belum tuntas.

Jadi ingat dulu pernah begadangan baca Harry Potter and The Half Blood Prince sampai jam 3 pagi saking penasaran sama endingnya. Dan akhirnya kesiangan shalat Subuh. Astaghfirullaah. Dosa banget rasanya 😭

Panjang sekali pembahasan mengenai hal ini, tidak akan muat jika diulas di sini satu persatu. Dan bukan kapasitas saya pula untuk menguraikannya. Semata karena minimnya ilmu yang saya miliki.

Kesimpulannya

Bagi teman-teman yang kemarin pernah bertanya kenapa saya tidak pernah menulis fiksi, dengan adanya postingan ini terjawab sudah yaa.. Maafkan jika ada email dan komentar yang belum sempat terbalas.

Akhir-akhir ini saya cuma bisa numpuk draft tulisan di notepad, lalu copas ke WP app di hape. Belum sempat-sempat buka laptop dan edit tulisan di dashboard karena qadarullaah sibuk sekali.

Semoga saya tetap istiqamah dan konsisten menulis, baik di sosial media ataupun blog, walau kerjaan numpuk atau laptop disandera anak. Semoga akan selalu tetap setia menulis dan update di blog ini, insya Allah..

Happy weekend!

~ Jakarta, penghujung September 2019.. ketika mood ngeblog mulai menyala kembali, sebelum nanti redup lagi.

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pinterest ]

11 thoughts on “Aku dan Fiksi

  1. Bacaan kita mirip, mbak. Saya kecil juga suka sekali majalah Bobo. Menginjak usia remaja, kenalan sama Aneka Yess. Pas udah SMA, mulai kenal sastra Islami kayak Annida. Suka baca roman-roman juga. Saat kuliah berlanjut dengan karya para penulis FLP. Saya dulu paling suka buku Salim A. Fillah. Sekarang lebih suka genre parenting dan yang sesuai kebutuhan. ^^

    Like

    • Wah, masya Allah.. Kita sama-sama suka baca berarti yaa 😉

      Iya sama.. Dulu seringnya baca majalah Gadis, Aneka, Kawanku. Tapi dipinjemin, gak pernah beli, hehe..

      Sekarang lebih suka buku yang berkaitan dengan dunia yang saat ini digeluti ya. Termasuk buku resep yang—udah beli aja dulu prakteknya kapan-kapan 😂

      Like

  2. Thank you for sharing Kak Meut. Aniway, aku malah kebalikan dari Kak Meut, Walaupun menulis dari kehidupan nyata juntrungnya malah kubuat semi fiksi. Mau ngeluarin uneg-uneg pun, kudu pinjem penokohan karakter fiksi. Wkwkwk. Jadi aku setuju sekali kalau Kak Meut bilang Ada banyak cara untuk berekspresi atau menginspirasi. Baik itu menulis fiksi, menuangkan opini pribadi berdasarkan fakta, atau menceritakan kembali sebuah kejadian nyata. Selama tidak menabrak rambu-rambu syar’i, maka lakukanlah...
    Saat ini pun, membaca fiksi jadi semacam selingan. Tahu sendiri buku-buku nonfiksi itu punya gaya bahasa tingkat tinggi dan kosakata yang lebih dalam, jadi ketika otak rasanya ‘umup’ means panas, akhirnya dikit-dikit diseling sama baca kumcer atau kumsi. Hehehe. Buat nambah diksi dan belajar gaya bahasa aja sih. #maafcurhat. Apa pun itu, semoga nulis untuk kebermanfaatan. Jazakillah khairan ya, Kak Meut. Barakallaah. ❤

    Liked by 1 person

    • Maaf baru terbalas komennya ya, Ayuna 🙂

      Wah malah kebalikannya yaa, ahaha.. Masya Allah tabarakallaah…

      Iya benerr, aku pun fiksi kadang buat selingan. Setelah baca yg berat2, buat refreshing otak aja 😄

      Like

  3. Menulis atau membaca cerita fiksi tidak mutlak terlarang, hukumnya pun bisa berubah dari mubah menjadi syubhat, makruh, atau bahkan haram. Tergantung kontennya. Tergantung efek yang ditimbulkannya..
    Mbak bisa minta sumber penjelasan ttg ini ? 🙂

    Like

      • Ngena banget mbak. Aku juga dari kecil suka banget baca2 buku cerita, kalau minta dibelikan sesuatu pasti mintanya buku cerita sampai2 rumah penuh dg koleksi buku sy. Saat SMP dan SMA karena sudah bisa pergi2 sendiri (walaupun pakai sepeda), pasti uang jajan hasil nabung dipakai beli novel dan buku cerita KKPK. Ingat banget waktu itu, pasti kena omel ibu karena keseringan beli buku cerita😂. Yg majalah ummi seingetku dulu itu sejak aku smp kayaknya, ibu sepulang kerja tepatnya sebulan sekali sering bawa pulang ke rumah dan berakhir dengan saling rebut dg adikku untuk baca duluan. Hehehe kalau ingat masa itu, seru banget. Btw dulu aku paling suka cerita bersambungnya.
        Makasi lho mbak, aku jadi nostalgia hari2 itu. Yah, skarang seperti kata mbak aku juga sudah kurangin baca2 novel dan buku2 cerita sejenisnya. Mungkin benar karena faktor U hahaha
        Sehat selalu ya mbak meutia sekeluarga😊

        Like

        • Maaf banget baru balas komennya ya Gingerblue08 🙂🙏

          Wah saya jadi flashback ke masa lalu juga nih, rebutan baca majalah sama adek. Tapi dulu saya rebutannya majalah Annida 😂

          Seru ya masa kecil kita dulu, jaman belum ada gadget. Jadi kalo kemana2 yang dibawa ya buku. Gak ada distraksi kecuali karena stok buku yang belum dibaca udah abis. Which is the saddest part of some avid readers like us, huhuhu..

          Aamiin ya Rabb.. Terima kasih atas doanya.. Doa yang sama untuk Gingerblue08 dan keluarga ya 😊

          Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.