Pagi ini ketika scroll-scroll Twitter, nemu thread dari @wordfangs ini di timeline. Duh ya Allah, berasa nano-nano banget bacanya. Beragam emosi campur aduk. Ya sedih, kesel, prihatin, tapi nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak ngerti lagi deh.
Satu setengah tahun sudah dunia dilanda pandemi. Banyak sekali perubahan terjadi di sana sini. Lelah? Pasti. Jenuh dan bosan di rumah terus? Hmm, alhamdulillah saya sendiri tak terlalu merasakannya. Mungkin karena saya tipe orang rumahan yang termasuk jarang bepergian.
Namun, meski betah tinggal di rumah dalam waktu lama, tentu berbeda tinggal di rumah karena kemauan sendiri dengan harus tinggal di rumah karena di luar sana ada musuh tak kasat mata yaitu virus yang mematikan. Singkat kata, stay at home karena terpaksa.
Di awal pergantian tahun ini, besar harapan kita bahwa pandemi segera berakhir. Namun alih-alih berakhir, malah muncul varian virus baru yang telah bermutasi, lebih menular, dan lebih memakan banyak korban. Allaahul musta’an.
Kabar sakit dan dukacita, hampir tiap hari kita dengar. Baik ketika membuka media sosial atau dari obrolan teman dan tetangga. Situasi ini makin merapat ke circle terdekat kita. Mereka yang kita kenal, terbaring sakit, kesulitan mencari bantuan medis, bahkan ada beberapa di antara mereka yang tak tertolong.
Welcome to the second wave of this pandemic era. Saat ini, hampir semua daerah di Indonesia rawan penularan virus. Pembatasan wilayah mulai diberlakukan demi menekan penambahan angka positif yang kian hari kian melonjak.
Bahkan beberapa hari berturut-turut ini kita berhasil pecah rekor kasus harian. Sayang pecah rekor untuk hal yang sama sekali tidak membanggakan 😦
Saya sendiri sudah menyusun jadwal untuk mengisi hari libur anak-anak. Nggak usah jauh-jauh keluar kota, main ke playground dekat sini aja. Lalu dilanjut menginap ke rumah tantenya. Mereka pasti sangat happy.
Namun mengingat kondisi saat ini, semua rencana itu harus dibatalkan. At least for now. Better safe than sorry.
Bagi yang masih berkegiatan di luar rumah tanpa kepentingan yang urgent, ada baiknya ditunda. Jika memang tidak ada keperluan darurat, tetap tinggal di rumah sangat disarankan untuk mengurangi laju persebaran virus.
Lain hal jika memang terpaksa keluar untuk mencari nafkah atau keperluan esensial seperti belanja kebutuhan sehari-hari. Beda sama yang keluar hanya karena bosan di rumah, atau mirisnya lagi, demi kepentingan konten.
Jika kita sadari, kemampuan untuk bisa tinggal di rumah dan tetap survived di tengah pandemi ini adalah sebuah privilege tersendiri yang harus disyukuri. Banyak yang ingin tinggal di rumah, namun tak bisa karena keadaan memaksa untuk tetap keluar dan bertemu banyak orang.
Profesi-profesi strategis yang kehadirannya tak bisa tergantikan oleh mesin atau tidak bisa dilakukan dari jarak jauh. Tenaga kesehatan, para pedagang, petugas layanan publik, pengatur lalu lintas, sampai kurir pengantar barang yang bagi saya amat besar jasanya di masa sulit seperti ini.
Semoga Allah senantiasa menjaga mereka semua.
Meski begitu, ada juga orang-orang yang masih dengan bangganya wira-wiri kesana kemari, posting momen liburan dengan dalih tempatnya sepi, tidak banyak kerumunan, dan tetap memakai masker serta taat prokes.
Atau nongkrong rame-rame di kafe atau public space, tanpa jaga jarak dan tanpa masker. Tak puas hanya sekadar happy-happy sambil nongkrong, mereka berfoto bareng lalu dibagikanlah aktivitasnya tersebut ke sosial media.
Plis, simpan dokumentasi itu untuk diri sendiri. Nggak perlu dishare di sosmed atau dijadikan konten vlog. We don’t need to see that kind of ignorance. Just keep it for yourself only.
Masih banyak pula yang rajin menyebarkan berita hoax dan jualan cerita konstipasi eh, konspirasi bahwa COVID ini hanyalah rekayasa elit gombal untuk mengeruk keuntungan dan memusnahkan umat manusia.
Dan mirisnya, masih banyak yang percaya dan termakan isu-isu tak berdasar—bahkan kadang tak masuk akal—tersebut.
(( sigh ))
Sebetulnya, mudah kok untuk lebih peka dan berempati di masa sulit seperti ini. Dengan menahan diri untuk tidak meng-upload “keegoisan” dan “kebodohan” kita di sosial media, kita sudah cukup membantu dan turut berempati pada pihak-pihak yang jangankan liburan..
Bertemu keluarga saja tidak bisa. Contohnya, para nakes yang rehat sejenak saja sulit karena pasien membludak. Bahkan sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah.
Let’s sit and think for a while..
Gimana kalo health system di negeri kita akhirnya collapsed? Nakes bertumbangan. Stok oksigen dan obat-obatan terbatas. Pun jika fasilitasnya ada tapi tenaganya nggak ada apalah gunanya? Mau dirawat sama siapa?
Mungkin ada yang berdalih bahwa mereka punya akses untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan jika jatuh sakit. But let’s think again, nggak semua punya akses yang sama. Mungkin karena keterbatasan biaya dan kemampuan.
Bahkan yang memiliki akses pun belum pasti ada jaminan akan mendapatkan treatment yang dibutuhkan karena situasi darurat saat ini. Sure money can buy medicine, but not health. Bisa diobati, belum tentu bisa disembuhkan.
Jujur saya heran betul dengan mereka yang masih abai prokes dan menolak percaya dengan virus berbahaya ini. Sama herannya dengan mereka yang dengan bebalnya pamer momen kongkow-kongkow, jalan-jalan, dan liburan di tengah suasana mencekam seperti ini.
Maaf, seperti mati hatinya. Nggak punya rasa kemanusiaan dan empati terhadap orang lain yang tengah bergelut dalam antrian IGD dan ICU, berjuang di tengah himpitan ekonomi akibat kehilangan pekerjaan, hingga struggling untuk menerima kenyataan harus kehilangan orang-orang tersayang untuk selama-lamanya.
Sorry, I have zero respect for people like them.
Saya yakin mereka bukan manusia primitif, yang tidak memiliki akses terhadap teknologi modern. Nggak punya TV atau koneksi internet, misalnya. Cobalah browsing dan scrolling timeline sosial media, agar mata lebih terbuka bahwa saat ini kita sedang tidak baik-baik saja.
Pandemi ini betul-betul menguji..
Mana yang unselfish, berusaha patuh pada aturan dengan tetap tinggal di rumah sebisa mungkin, dan mana yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dengan alasan menaikkan imun.
Bagi yang beralasan jalan-jalan dan plesiran untuk melepas stress dan menaikkan imun.. Gimana kalau argumennya dibalik, justru imun manusia lainnya malah drop melihat kalian santai banget bertamasya ria seperti sedang tidak ada pandemi?
Dengan resiko bertemu banyak orang dan berkunjung ke berbagai tempat lalu membawa sebaran virus kesana kemari. Kalau semua hanya memikirkan diri sendiri, kapan selesainya ini pandemi?
Plis, kita nggak bisa mengakhiri kondisi ini dengan memikirkan kesehatan dan keselamatan diri sendiri. Kita butuh orang lain untuk terus sehat, agar kita juga bisa tetap sehat dan kembali beraktivitas seperti sedia kala.
Karena selama target vaksinasi belum tercapai, antibodi belum terbentuk, dan masih banyak carrier di luar sana, kita belum bisa “hidup berdampingan” dengan COVID. Masih harus taat prokes, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
This is the pandemic of our lifetime. We’re in this together. So put aside your ego for a while.
Ayolah, nggak sulit kok untuk membantu dan turut berempati terhadap kondisi sulit saat ini. Cukup dengan banyak bersabar tinggal di rumah, berdo’a, berikhtiar, patuh pada aturan, dan tidak hanya mementingkan diri sendiri.
Kita semua punya andil besar dalam menentukan akhir dari perjuangan ini. Saatnya mulai dari diri sendiri, melindungi diri dan orang-orang yang kita sayangi semampu kita, tak lupa mempersiapkan diri untuk menghadapi skenario yang paling buruk sekalipun.
Bahwa kematian itu pasti.
~ Jakarta, July 3rd 2021.. please stay at home, it has never been easier to save lives.
© AISYAFRA.WORDPRESS.COM
[ image source: Pinterest ]
mba, mau nanya. pakai wordpress yang berbayar atau gratis ya?
LikeLike
Saya pakai yang gratis, free domain dari WP.
LikeLike