Akhir-akhir ini ramai pemberitaan tentang kekerasan seksual di sosial media dan portal-portal berita. Satu persatu korban mulai berani bersuara. Satu persatu kasus mulai dibongkar dan masuk tahap penyelidikan.
Pedih hati ini mendengar kisah-kisah para korban. Betapa berat menjalani hari-hari penuh trauma, tanpa harapan pasti kapan akan terbebas dari mimpi buruk itu.
I can feel how they really feel.. ‘Cause I’ve been there before. Walau tidak setragis kisah-kisah mereka yang mengalami kekerasan seksual bertahun-tahun lamanya.
Ya, saya pernah menjadi korban dan hampir menjadi korban. Meski dalam skala ringan, namun bagi saya peristiwa tersebut cukup traumatik. Peristiwa yang mengubah total pandangan saya terhadap lawan jenis dan bagaimana harus bersikap ketika dilecehkan.
Peristiwa pertama terjadi saat saya masih berusia sekitar 5 tahun, sudah duduk di bangku TK. Saat itu saya sedang bermain di halaman rumah tetangga, bersama teman-teman lainnya.
Tiba-tiba seorang anak lelaki berusia remaja memanggil nama saya dari dalam rumah,
“Tia, sini deh sebentar..”
“Kenapa?”
“Sini aku tunjukkin sesuatu..”
Karena saat itu masih polos dan belum mengerti, saya ya manut-manut saja.
Sesampainya di dalam, rumah sepi. Saya diajak masuk ke kamar. Katanya “sesuatu” itu ada di dalam kamar. Saya menurut saja.
Di dalam kamar, saya diajak ngobrol dan ditunjukkan gambar-gambar kartun. Diajak bercanda sampai saya ikut tertawa. Saya masih ingat betul, salah satu gambar yang ditunjukkan adalah Dumbo, karakter gajah dalam cerita Disney.
Kemudian lelaki itu duduk merapat di samping saya, tepat di pinggir tempat tidur. Saya ingat dia terus menatap wajah saya, lalu mulai mengelus dan menyentuh bagian pundak. Kemudian ia menggendong, lalu mengayun-ngayunkan saya ke atas tempat tidur.
Saya yang seketika merasakan ada sesuatu yang tidak beres, langsung protes.
“Aku nggak mau digendong! Aku mau turun!”
“Nggak papa sebentar aja, nanti habis ini diturunin kok..” sambil terus senyum-senyum.
Saya yang sangat merasa tidak nyaman, terus protes, kali ini dengan agak berteriak..
“Turunin aku! Aku mau pulang! Aku mau pulang sekarang!”
Akhirnya karena saya terus berteriak, mungkin karena takut terdengar orang, ia terpaksa menurunkan dan melepaskan saya. Dan saya langsung berlari keluar, pulang ke rumah.
Sampai di rumah saya gemetar. Bukan takut, apalagi malu, tapi lebih pada perasaan marah dan tidak nyaman. Saya tidak tahu itu perasaan apa, yang jelas saat itu saya tidak baik-baik saja.
Saya langsung menceritakan peristiwa itu pada ibu, lalu ibu melaporkannya pada bapak. Lalu bapak menanyai saya, bagaimana kronologis kejadian dan apa yang saat itu saya rasakan.
Tanpa menunggu lama, kedua orang tua saya mendatangi rumah tetangga tersebut. Mereka menceritakan apa yang saya alami pada paman dan bibinya. Karena anak lelaki itu tinggal bersama paman dan bibinya.
Mereka, tetangga kami itu meminta maaf atas perilaku keponakannya. Yeah, just it. Minta maaf. Mungkin karena saat itu saya gagal jadi korban kejahatan. While in fact, I was already traumatized.
Menurut pengakuan mereka, memang keponakannya tersebut cukup problematic. Banyak laporan yang telah sampai pada mereka. Dari kasus kriminal kecil-kecilan sampai pelecehan terhadap perempuan.
Terakhir saya dengar, ia tertangkap karena membobol rumah seorang tetangga. Kali ini pihak RT langsung turun tangan. Ketika kamarnya digeledah, ditemukan banyak koleksi video porno di dalamnya.
Saat itu saya tidak mengerti apa itu pornografi, apa itu pelecehan seksual, apa itu pedofilia. Yang jelas saya merasa ada tanda bahaya yang tak boleh diabaikan.
As I grew older, ketika mengingat peristiwa itu saya bergidik sendiri. Bersyukur Allah masih menyelamatkan saya dari kejahatan. Jika saja saat itu Allah tidak memberikan keberanian pada saya untuk melawan, entah apa jadinya.
I was only five years old 😭
Setiap kali mengingat senyumannya saat ia menggendong saya, seketika saya merasa jijik dan mual. Nggak kebayang mereka yang harus mengalami hal-hal yang jauh lebih buruk dari apa yang saya alami. Nggak kebayang traumanya kayak apa.
Peristiwa kedua terjadi ketika saya baru menginjak usia dewasa, saat itu saya tengah berbelanja di pasar. Ketika berpapasan dengan seorang lelaki, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang menempel di bagian dada saya.
Sontak saya kaget, seperti membeku, dan tak bisa berkata-kata. Saya baru sadar apa yang terjadi sekian detik kemudian: lelaki itu memegang dan (maaf) meremas dada saya. Saya langsung membalikkan badan (posisinya kami berpapasan) dan berteriak ke lelaki tersebut,
“Eh kurang ajar ya! Sini kamu!”
Lelaki itu langsung lari sekencang-kencangnya diiringi tatapan mata orang-orang. Saya yang masih shock berat, tak mencoba mengejar. Karena posisi saya saat itu sedang sendirian, jadi tak ada yang berusaha menenangkan saya.
Dengan detak jantung yang tak karuan, saya menepi di pinggir sebuah kios. Untuk kedua kalinya saya gemetar. Rasanya ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. I was too shaken to talk or do anything.
Saya bertanya-tanya kenapa saya diserang, padahal saat itu saya berhijab. Memakai khimar yang lumayan panjang lengkap dengan kaos kaki. Setelah ramai istilah “begal payudara” barulah saya paham apa yang sebenarnya saya alami saat itu.
Yang saya pahami saat itu, I was a victim of a sexual harassment. Saya adalah korban dari orang yang sakit jiwa dan punya kelainan seksual. Saya menutup rapat kejadian itu selama bertahun-tahun, no one knows but me.
“But why me? Kenapa memilih saya yang sudah menutup aurat sebagai korban?”, always be the question that keep resonating in my head for years.
Later I realized, korban pelecehan seksual bukan hanya mereka yang mengumbar aurat, namun juga mereka yang berhijab. Namun yang demikian bukanlah pembenaran bahwa, “Percuma nutup aurat, toh tetap berpotensi jadi korban kejahatan seksual”.
Nggak gitu logikanya.
Saya memutuskan untuk menutup aurat karena kewajiban saya sebagai seorang muslimah untuk taat pada Dzat yang telah menciptakan saya. Karena saya paham, selalu ada kebaikan dan hikmah tersembunyi dalam tiap perintahNya.
Saya memutuskan untuk berhijab juga sebagai benteng dan penjagaan dari pandangan laki-laki dan kejahatan yang menyertainya. Saya tidak mau sengaja mengundang kejahatan. Karena kadang niat baru tercetus ketika ada kesempatan.
Dan yang namanya predator seksual itu, nggak ada hubungannya sama dia ngerti agama atau orang awam, orang punya kedudukan atau cuma rakyat jelata, orang berpendidikan tinggi atau cuma lulusan SD.
Mereka semua punya satu kesamaan, yaitu mengidap kelainan seksual yang merugikan banyak orang. And we should stop them from destroying more people’s lives. Can we focus on that only?
Why I choose to talk about it now?
Why I decide to tell you my story on this platform?
Why I choose to speak up about something—a thing which some people said—I should be ashamed of?
Karena saya ingin para korban kejahatan seksual untuk berani bersuara mencari keadilan. Berani menyeret para pelaku ke meja hijau. Meski tidak mudah, karena trauma itu begitu menghantui. Saya sendiri pernah merasakannya.
Bukan kita yang harus malu, tapi mereka. Menjadi korban kejahatan seksual bukanlah aib. Merekalah para pelaku yang seharusnya malu, merasa kerdil, dan dikucilkan dari society, bukan kita.
Miris hati ini melihat realita banyak korban yang menutup diri dan merasa malu karena peristiwa yang menimpa mereka. Mengapa harus malu? Kalian tidak berbuat kejahatan, kalian adalah korban!
Ketika kita menjadi korban pelecehan seksual, diakui atau tidak, seringkali muncul perasaan inferior bahwa diri ini kotor dan telah ternoda. Kita merasa malu. Malu pada diri sendiri, malu pada orang lain, malu pada lingkungan sekitar jika berani melapor.
Bahkan biadabnya lagi, pelaku kejahatan seksual seringkali mengancam para korbannya dengan perkataan,
“Kamu mau lapor? Kamu nggak malu kalau orang-orang tahu? Mereka pasti menganggap kamu wanita yang kotor karena sudah mengalami kejadian seperti ini.”
Sudah kondisi mental kita hancur dan tercabik-cabik karena dilecehkan, masih ditambah stigma bahwa korban kejahatan seksual adalah pesakitan dan obyek bully yang patut dikasihani dan dijauhi. Kenyataan pahit yang sama sekali tak bisa dihindari.
Tatapan-tatapan mata penuh rasa kasihan saat memasuki ruangan, bisik-bisik penuh kecurigaan saat berpapasan di jalan-jalan, sampai ujaran kebencian bahwa apa yang kita alami adalah karena kelalaian kita dalam menjaga diri.
That’s why banyak yang memutuskan untuk menutup rapat-rapat luka itu dan menyimpannya sendiri. Sementara sang predator? Masih bebas berkeliaran di luar sana mencari mangsa baru.
Mengapa dalam kasus Reynhard Sinaga yang menghebohkan Manchester, Inggris beberapa waktu lalu, identitas para korban betul-betul dilindungi bahkan kasusnya baru dipublish setelah 2 tahun menjelang persidangan akhir?
Semua demi menjaga kondisi psikis korban yang masih harus bersaksi di pengadilan.
Kebayang nggak udah merasa dilecehkan dan trauma berat, harus menceritakan tiap detil kejadian menyakitkan itu di depan hakim dan para juri, bahkan harus bertatap muka dengan orang yang sudah membuat kita mengalami semua kepahitan itu?
Pasti sangat berat. Bagaimana jika ditambah dengan kilatan blitz kamera dari para pencari berita dan exposure luar biasa di semua media. Bisa remuk seketika mental mereka. That’s why kesehatan jiwa para korban haruslah jadi prioritas utama.
But after all, saya percaya, tidaklah sesuatu terjadi melainkan ada hikmah di baliknya. Peristiwa-peristiwa yang dulu saya alami, telah membentuk saya menjadi sosok yang lebih berhati-hati dan waspada dalam segala hal.
Saya sadar, bahwa ancaman kekerasan seksual seringkali berasal dari orang terdekat. Seperti kasus tetangga saya tadi. Mungkin karena itulah saya termasuk tipe orang tua yang sangat bawel dan protektif terhadap keselamatan anak-anak saya.
Terserah orang mau bilang apa, saya hanya berusaha melindungi apa yang menjadi tanggung jawab saya. Toh kalau nanti terjadi sesuatu, mereka tak akan merasakan apa yang saya rasakan. Mereka hanya bisa berkomentar.
Di satu sisi saya berusaha mendidik anak laki-laki saya agar menundukkan pandangannya dan menjauhi sumber fitnah. Di sisi lain saya berusaha menanamkan pada anak perempuan saya agar menjaga dirinya dengan hijab dan tidak menjadi sumber fitnah.
It goes both ways. Bukan kewajiban salah satu gender saja. Allah memerintahkan wanita untuk berhijab dan tidak keluar rumah tanpa kepentingan, lelaki diperintahkan untuk menundukkan pandangannya.
Saya juga mengajarkan pada anak-anak saya pentingnya consent dalam hal apapun. Termasuk mengenai hak milik pribadi dan apa-apa yang berhubungan dengan orang lain. Jika perbuatan kita atau orang lain menyebabkan ada pihak yang merasa tak nyaman, stop it. Just stop it.
Untuk kalian para korban dan penyintas kekerasan seksual, tetaplah tegar dan berani untuk melanjutkan hidup. I know it’s not easy. Take your time to heal all those wounds. Don’t rush it, you’re allowed to feel broken and sad. Let it be, until you are ready to step forward.
Kalian harus tahu, kalian istimewa dan berhak untuk dicintai. Jangan sekali-kali berpikir untuk mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidup. Kalian terlalu berharga untuk mati sia-sia.
Jika ada yang harus menderita, merekalah para predator seksual yang harus mengalaminya. Bukan kalian. They are the real demons, not you. Kalian berhak untuk pulih dari segala luka masa lalu. Kalian berhak atas masa depan yang lebih baik.
Change your narrative. You deserve a life full of brighter days. You deserve to be loved and love in return. You deserve some justice for all the hell you’ve been through.
Learn to wear your scars like wings, full with pride and fearlessness. Never be ashamed of it. It simply means you were stronger than whatever tried to hurt you.
Forgive yourself for everything that happened. Have some time to talk to your inner-self. You need it more than you think.
See that little girl with a broken smile inside of you? She’s been through many things, she has lived in fear, anxiety, and regrets. Yet she conquered it all.
She deserve to be healed. You deserve to be loved. She will be healed, she will be loved, and so will you.
Chin up, warriors! As the saying goes, “There will always be someone who can’t see your worth. Don’t let it be you.”
My prayers are always be with you 🖤
~ Jakarta, December 2021.. you always were and always will be whole and complete, do not let anyone tell you otherwise.
© AISYAFRA.WORDPRESS.COM
[ image source: Pinterest ]