“A child is like a butterfly in the wind. Some can fly higher than others, but each one flies the best it can. Why compare one against the other? Each one is different, each one is special, each one is beautiful.”
Pagi ini ngobrol-ngobrol dengan seorang teman soal menyekolahkan anak di sekolah favorit. Sharing experiences about those (good) old days..
Sebagai mantan anak sekolah yang pernah bersekolah di sekolah favorit dan non-favorit, pastilah ada beda antara keduanya.
Let me tell you from my perspective..
Di usia 6 tahun, saya masuk ke MI (Madrasah Ibtidaiyah) swasta dekat rumah. Termasuk sekolah berkualitas dan setara dengan sekolah negeri. Mengapa memilih masuk madrasah? Karena saat itu orang tua menginginkan saya dibekali ilmu agama selain ilmu pengetahuan umum.
Sejak kelas 1, biidznillaah saya selalu berhasil meraih ranking 1. Sampai di cawu pertama kelas 5, peringkat saya merosot ke ranking 4. Cawu 2, saya berhasil merebut kembali ranking tersebut. Dan terus mempertahankannya sampai lulus kelas 6.
Apakah saya bahagia selalu jadi juara kelas? Oh, tentu.
Tapi apakah saya merasa tertekan harus selalu jadi juara kelas? Yeah, sure.
Saya merasa sangat terbebani harus selalu jadi si nomor satu. Terbukti ketika saya turun peringkat di kelas 5, mental saya down parah. Saya yang terbiasa selalu jadi yang pertama, tak mudah menerima kenyataan itu. And at that age, I didn’t get the help that I need.
Lulus SD, saya masuk ke SMP negeri ternama di Jakarta. SMP saya dulu termasuk sekolah favorit. Saat ini ada di peringkat ketiga SMP negeri terbaik se-Jakarta. Lokasinya lumayan jauh, sekitar 7 km dari rumah.
Kenapa kok milih yang jauh? Karena ngejar predikat favorit tadi. Sebetulnya saya lebih memilih SMP dekat rumah, yang juga tak kalah favorit. Saat ini ada di peringkat 5 SMP negeri terbaik di Jakarta.
Tapi wali kelas saya saat itu menyarankan saya mengejar impian di sekolah yang lebih berkualitas.
“Kamu punya potensi untuk berkembang, Meut. Sayang kalo dilewatkan. Bapak yakin kamu bisa.”
So there I was, tiap hari ngangkot plus jalan kaki hampir 8 km jauhnya. Sepekan full masuk. Senin-Sabtu masuk seperti biasa. Minggu ekskul wajib Pramuka. Belum termasuk kursus komputer.
Definisi tua dan capek di jalan sudah saya rasakan sejak masih di bangku SMP. Belum tugas-tugas yang seabrek, mata pelajaran yang sulit, dan pressure yang lumayan berat.
Dulu kelas masih dikelompokkan berdasarkan nilai rapor. Saat itu saya masuk kelas top ten, dengan NEM di peringkat 8. Kelas dua masih masuk kelas terbaik. Kelas tiga mulai anjlok. Masuk kelas peringkat ketiga dari 10 kelas.
Why? Karena saya udah mulai kenal sama yang namanya naksir lawan jenis alias “monkey love”. Walau nggak pernah bener-bener pacaran. Karena ortu saya galak. Ketauan pacaran, nama saya bisa dihapus dari KK.
Hahahaha canda.
Namun di kelas tiga itulah titik balik dalam kehidupan saya. Saya yang ngerasa ambyarr karena nilai yang terus turun, mulai berusaha untuk bangkit dan move on dari soal cinta-cintaan.
Alhamdulillah, I came back with better results. Dan lulus dengan nilai ujian masuk peringkat 15 besar satu sekolah.
Milih SMA, saya galau. Saya mau masuk SMA yang sama dengan besties alias sahabat-sahabat saya saat itu. Tapi orangtua nggak ngasih izin. Simply karena lokasi sekolahnya deket sama mall. Mereka khawatir anaknya sering nongski di emol tiap pulang sekolah.
Padahal saya ini tipikal anak rumahan banget, jarang keluar rumah kalau nggak perlu-perlu amat, mana uang jajan ngepas. Mau ngapain ke emol coba? 😂😭
Akhirnya walau berat hati, saya pasrah untuk masuk SMA yang sama sekali nggak menarik bagi saya. Surprisingly, ada beberapa teman dari SMP yang juga masuk di SMA yang sama. Sadly, saya nggak kenal satupun dari mereka. Huhu.
Maklum saya dulu termasuk anak cupu yang nggak terlalu suka bergaul. Lebih suka ngadem di kelas atau nongkrong di perpus. Gabung organisasi? Nggak pernah tertarik karena saya adalah seorang penyendiri. Kalau istilahnya nak Jaxel, bukan social butterfly. Wkwkwk.
SMA saya kala itu termasuk sekolah non-favorit alias B aja. Letaknya jauh dari jalan besar, tepat di tengah-tengah pemukiman warga. Jaraknya kurang lebih 2 km dari rumah.
Rutenya biasa ditempuh dengan motor atau naik angkot yang ampun deh nunggunya berasa seabad. Udah armadanya jarang, lewatnya nggak tentu pulak. Berasa dighosting lah awak 😑
Beruntunglah anak Jakarta jaman now yang dimana-mana udah ada Jaktrans aka Jaklingko, gratis dan terjadwal. Dulu mah beughh..
Udah bayar, naiknya mesti rebutan sama orang berangkat kerja. Betul-betul butuh perjuangan buat sampai di sekolah. Ojol? Bus sekolah? Mana adaaaa…
Back to masalah sekolahan. Saya yang setengah hati (baca: terpaksa) masuk ke sana, akhirnya berhasil beradaptasi dan mendapatkan teman-teman baru. Saya yang tadinya merasa “this is not where I belong” mulai merasa sedikit enjoy.
Dibandingkan SMP lama dan SMA incaran saya dulu yang berada di area sibuk dan pinggir jalan besar, ambience sekolah saya ini jauh lebih tenang dan sejuk. Dikelilingi lahan serba hijau dan pepohonan rindang, bikin suasana belajar lebih kondusif.
Spot paling favorit buat saya adalah bangku beton di pinggir lapangan, persis di bawah pohon. Paling sering duduk di situ sambil ngapalin rumus-rumus menjelang ulangan. Yang kedua, perpustakaan. Tempat paling damai di seantero sekolah. Library has always been a perfect getaway for me.
Gimana dengan kondisi belajar di kelas? Buat saya sih menyenangkan. Saya mulai menyadari bahwa belajar, berprestasi, dan menikmati hidup bisa kita rasakan sekaligus. Tanpa harus memilih salah satu.
Saya yang sejak SD terbiasa dengan pace dan pressure belajar yang cukup kompetitif dan stressful, mulai menemukan kenyamanan di sekolah yang less favorable ini.
Yang biasanya tiap pulang sekolah (dan hari libur) masih stress berkutat dengan tugas dilanjutkan dengan menggalau ria sehabis ulangan.. Justru saat SMA ini saya mulai berprinsip, “My duty is to do my best, then let Allah do the rest”.
Saya juga mulai memahami bahwa nilai dan ranking bukanlah segalanya. Apalagi jika harus ditempuh dengan cara-cara kotor. Menyontek atau menjatuhkan rival, misalnya.
Dari sinilah saya mengambil hikmah dan pelajaran yang amat penting. Dan barangkali untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menyadari..
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu..”
Mungkin sejak saat itulah saya sadar, saya lebih cocok dengan ritme belajar yang slow, quiet, dan less competitive. I prefer this way, and the results were also better, I guess.
Trus apa sekolah-sekolah favorit yang penuh kompetisi, selalu berpacu dengan waktu dan ranking itu nggak okeh? They might be work for some people, but definitely not for me.
Ada tipe orang yang ketika berada dalam kondisi di bawah tekanan justru lebih all out dalam berusaha. Ada yang saat berkumpul dengan mereka yang jauh lebih hebat justru makin terpacu untuk terus maju dan mengejar ketinggalan.
But that’s not for me. I’ve tried both ways, and the latter is more effective. At least, buat saya yang nggak suka bermimpi terlalu tinggi sampai lupa menikmati hidup dan menyayangi diri sendiri.
Apakah karena saya tidak suka atau malas belajar? No, don’t get it wrong. Sampai saat ini saya suka sekali belajar hal-hal baru, karena sesungguhnya belajar itu menyenangkan. But I choose to do it my way.
Nilai-nilai saya sewaktu SMA tidak terlalu fantastis dan membanggakan. Tapi saya bahagia. Saya menikmati saat-saat berada di kelas, menyimak, mencatat, dan mengerjakan tugas. Alhamdulillah tahun berikutnya saya berhasil naik kelas dengan nilai yang cukup memuaskan dan masuk kelas terbaik.
It’s okay to be mediocre. It’s okay to not always be the number one. Buat apa saya mati-matian mengejar nilai dan ranking jika saya tidak menikmati proses untuk mencapainya? Just tried to more focus on the process, not the results.
Begitu juga dalam memilihkan sekolah untuk anak-anak. Ketiga anak saya saat ini bersekolah di tiga sekolah yang berbeda. Yang pertama, sudah tingkat SMP. Yang kedua dan ketiga masih SD.
Yang kedua masuk di SD favorit yang dulunya berstatus SSN (Sekolah Standar Nasional) yang kini sudah dihapuskan. Sedang adiknya di sekolah non-favorit yang letaknya tak jauh dari rumah.
Tentu ada perbedaan walau tidak terlalu signifikan. Tapi selama mereka sama-sama enjoy dan tidak merasa terbebani, bagi saya tak masalah.
Agak stress ketika ulangan atau ada tugas masih wajar lah yaa.. Namanya adrenalin sesekali harus dipacu biar lebih semangat. Walaupun tugas anak SD yaa ujung-ujungnya Mamaknya juga yang turun tangan 😁
Sebagai orangtua, saya berusaha untuk tidak memaksakan impian dan ekspektasi saya pada anak-anak. Apalagi sampai memikulkan beban di luar kesanggupan mereka. Kasihan, euy.
Saya berusaha menyelami, ke arah mana kecenderungan masing-masing dari mereka. Ada yang kemampuan akademiknya menonjol, tapi kurang dalam social skill. Ada yang kreatif dan visioner, namun lemah di prestasi akademik.
Our duty is to find those hidden gems. Menggali minat, bakat, dan kemampuan mereka. Lalu mengarahkan dan memberi mereka motivasi dan dukungan penuh untuk menggapai impiannya.
I knew how it feels to be burdened by someone’s ambitions and expectations. Apalagi jika harapan itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Bahagia enggak, stress iya. Ujung-ujungnya ya nggak bisa total apalagi menikmati.
This reminds me of a beautiful quote from one of the best movies ever made, Taare Zamen Par. Film yang berhasil bikin saya nangis bombay tiap kali rewatch:
“Every child has his own capabilities, his own desires, his own dreams. But no. Each finger has to be pulled until it gets long. Pull away until it finally breaks. If you’re so fond of racing, then breed racehorses. Why have children? Forcing your ambitions onto the delicate shoulders of children. It’s worse than child labour. And what if the child can’t bear the load? When will we learn that each child has his own abilities? Sooner or later all of them learn. Each has his own pace. Five uneven fingers form a hand.”
Every child is special. Setiap anak punya keunikan tersendiri. Punya kelebihan dan kekurangan yang tak dimiliki oleh anak lainnya. Demikian juga dalam proses belajar, kemampuan mencerna hal baru, atau menganalisa suatu masalah.
Drop the stigma. Bahwa kesuksesan dan kesejahteraan hidup identik dengan profesi tertentu. Nggak semua orang harus jadi dokter atau PNS. Dan nggak semua orang cocok jadi entrepreneur.
Ada yang minatnya berdagang. Ada yang bakatnya di bidang art atau seni. Ada yang menjadikan hobi sebagai profesi. Ada yang tertarik tampil dan jadi pembicara, ada yang lebih suka berada di belakang layar.
As years go by, saya sadar bahwa belajar menjadi orang tua adalah sebuah proses tanpa henti. Betapa banyak orangtua yang tak mau mendengarkan pendapat anaknya, orangtua yang tak mau melihat sisi terang dari anaknya.
Belajar menyadari bahwa sebenarnya tiap anak berbeda, maka perlakuan terhadapnya harus berbeda pula. Tak bisa disamakan satu dan lainnya. Every child is different. One-of-a-kind. A unique person, growing and learning at their own pace, in their own special way.
Love them for who they were, who they are, and who they will become. Love them unconditionally..
~ Jakarta, end of December 2021.. every child has a gift, but only those who care enough can see it..
© AISYAFRA.WORDPRESS.COM
[ image source: Pinterest ]
aaak.. I feel you mbak Meutia.. Yang pas SD selalu ranking 1 tapi yes the presure behind is real. yang mana tiap kumpul keluarga jadinya orang tua saling menunjukkan prestasi anak2nya, dan alih2 motivasi tapi justru pressure. dan semoga kita bisa benar2 bersikap dan mencintai anak2 kita sebagaimana adanya mereka, dan belajar untuk tidak saling membandingkan antar anak.. syemangaat mbaak..
LikeLike
Maaf banget baru baca komentarnya, jarang buka notif, huhu 😥
Ahhhh relate sekalii, kadang capek ada di posisi seperti itu.. Dan sungguh, saya nggak ingin anak2 saya kelak merasakan apa yang saya rasakan. Every child is special, rite?
Aamiin yaa Rabb, semoga kita bisa menjadi sebaik2 versi orangtua bagi anak2 kita yaa 🤗
LikeLike