The Problem is Me

“If you’re searching for that one person who will change your life, take a look in the mirror..”

Cuek. Siapa aja nih yang pernah merasa memiliki sifat atau dilabeli dengan predikat tersebut? Numpang ngaku aja ya, itu saya. Ahahaha.

Sejak kecil, saya dikenal sebagai pribadi yang cuek. Cenderung to the point dan straightforward. Bahkan ada yang beranggapan saya ini jutek dan galak. Hanya karena sifat cuek tersebut.

Padahal sebetulnya cuek versi saya itu..

Nggak terlalu ingin tahu urusan pribadi orang lain.

Nggak terlalu mementingkan penampilan hanya untuk membuat orang lain terkesan.

Nggak terlalu memusingkan penilaian dan apa kata orang alias nggak gampang baperan.

Back in my younger days..

Saat itu saya menganggap sifat cuek ala saya itu normal-normal aja dan nggak ada masalah. Toh nggak merugikan orang lain. What’s the problem?

Mungkin karena saya anak sulung perempuan. Yang dituntut untuk memiliki jiwa pemimpin dan jadi teladan untuk adik-adik di rumah.

Nggak boleh cengeng, harus setrong, harus tegas nggak boleh menye-menye, harus mampu bersikap rasional, dan lain-lain.

But as I grew older..

Saya tersadar bahwa tidak semua sifat cuek yang saya miliki itu wajar, baik, dan tidak perlu lagi untuk diperbaiki. Bahkan saya baru menyadari bahwa sifat tersebut bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.

Saya sadar bahwa sifat cuek bisa bermakna negatif ketika seharusnya saya lebih bisa peduli dan berempati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Menyadari bahwa kadar sensitivitas tiap orang berbeda-beda.

Bahwa kadar cuek yang berlebihan juga bisa dan sangat mungkin menyinggung dan melukai orang lain. Meski dari hati terdalam, sungguh saya tidak pernah bermaksud seperti itu.

For example, saya yang sering bicara ceplas ceplos, to the point dalam mengungkapkan isi hati dan pikiran.. Seharusnya lebih bijak memperhatikan situasi dan siapa yang saya ajak bicara.

Kalau bisa disampaikan dengan pemilihan kata dan timing yang baik, kenapa tidak? Dengan tetap tidak mengubah tujuan, yaitu menyampaikan apa yang memang ingin disampaikan.

Some people also said I was insensitive. Yes, kurang peka. Kurang bisa membaca keadaan. Setelah saya pikir-pikir, dulu saya memang seringkali bersikap seperti itu. I didn’t deny it.

Dulu saya orangnya cuek banget. Kadang dikasih sinyal, dikodein, nggak paham-paham. Akhirnya yang ngode jadi kesal sendiri dan saya dibiarkan sendirian dalam ketidakpahaman.

Duh teman, maafkan aku ya, hehe..

Jujur saja, saya banyak belajar tentang bagaimana mengurangi sifat cuek yang tidak baik justru dari orang-orang terdekat saya.

Sahabat, kenalan, adik-adik saya, banyak yang memiliki sifat perasa dan serba sungkan alias nggak enakan. Mereka mengajari saya tanpa banyak kata, mencontohkan langsung dengan perilaku.

Saya juga banyak belajar dari pasangan, yaitu suami sendiri. He is incredibly a considerate and thoughtful person. Cukup peka dan perhatian. Agak beda dengan istrinya yang (agak) cuek ini. Ehehe.

But ain’t that the purpose of relationship? To complete one another.

Kadang ketika mengingat bagaimana saya dulu terlampau cuek dan kurang aware akan situasi, seringkali merasa malu dan menyesal sendiri.

Kok bisa ya saya seabai itu? Kok bisa ya saya nggak peka dan main hajar bleh aja? Nggak peduli sama perasaan orang lain..

Saya sadar bahwa karakter atau tabiat manusia memang sulit untuk diubah. Apalagi kebiasaan yang sudah terbentuk bertahun-tahun lamanya. But difficult doesn’t mean impossible, rite?

Sungguh mengubah sifat dasar itu tidak mudah. Sejujurnya, sangatlah sulit. Tapi selama ada niat dan tekad yang kuat untuk berubah disertai pertolongan Allah, insya Allah semuanya akan dimudahkan.

Mengubah ya, bukan menghilangkan sama sekali. Karena seperti sifat nggak enakan, tidak semua sifat cuek or being a straightforward person itu tercela. Banyak kok sifat cuek yang justru menyelamatkan pemiliknya.

Contoh, cuek alias nggak kepo sama urusan pribadi orang lain. Prinsip ini terus saya pegang teguh sampai saat ini. I hate to put my nose in someone else’s business. Ngurusin badan aja susah, ngapain juga mesti ngurusin urusan orang? 😜

Tentu bukan berarti menutup mata dan tidak peduli ketika orang lain dilanda kesusahan, ya.. Care is a must, tapi bijaklah menempatkannya pada waktu dan sasaran yang tepat.

Prioritaskan hal-hal yang perlu untuk dipedulikan, then eliminate what’s not. Alias tak perlu peduli pada hal-hal yang tidak penting. Sayang waktu dan energinya.

Contoh yang lain adalah cuek terhadap omongan atau penilaian orang. Yang kenal dekat dengan saya pasti paham banget saya ini orangnya “rather unbothered” alias santuy aja meski diomongin ini itu.

Ya selama perkataan itu tidak benar buat apa harus dipikirin? Rugi, atuh. Kecuali kalau yang disampaikan memang fakta, baru perlu jadi bahan introspeksi. Kalau nggak, ya abaikan saja.

At this stage of age, saya makin malas berkonflik dengan orang lain. Nggak suka ribut-ribut, apalagi sengaja cari ribut. Kalau udah terlanjur kecewa ya cukup tau aja. Cukup tau dan kutandai kau. Ahahaha.

Yang saya rasakan, dengan makin bertambahnya usia, kepekaan saya makin terasah. Saya yang tadinya abai terhadap detail-detail kecil, jadi lebih sering memperhatikan, mencoba melihat jauh lebih dekat dari sebelumnya.

I can feel people’s certain vibe and energy when they get close to me. I can sense every small detail about their gesture, body language, especially while making an eye contact.

Semakin bertambah usia (baca: tua), saya yang tadinya couldn’t care less terhadap apa yang orang lain rasakan.. Belajar untuk lebih bisa berempati dan mencoba merasakan how it feels to be in their shoes.

Ketika bicara dengan seseorang, saya berusaha menyelami apa yang mereka pikirkan. I’m no longer being the ignorant and selfish me. I learn to listen to what people may say, directly or indirectly.

Saya berusaha menangkap hidden messages yang tak terucap secara eksplisit. Mencoba membaca arah sebuah percakapan dan menyimpulkan sesuatu darinya berdasarkan fakta-fakta, bukan sekadar asumsi belaka.

Salah satu “saudara jauh” sifat cuek yang sampai saat ini masih saya pertahankan adalah sifat tegas dan tegaan. Iya, tega bersikap tegas. Tega dalam artian positif. Tega ketika memang harus bersikap tega.

After all, I’m still a very assertive person. Saya nggak segan-segan mengatakan “tidak” ketika jelas-jelas tidak ingin mengatakan “ya”. I won’t say the opposite just the please people.

As human, through years we tend to evolve. Beruntunglah ketika kita menyadari bahwa kita sebagai manusia pasti memiliki “toxic traits” yang perlu diperbaiki. Kita punya kekurangan yang kadang tidak kita sadari.

Bahwa kita tidak selamanya benar. Ada kalanya persoalan dan kepelikan hidup yang kita alami, adalah akibat dari keputusan yang kita buat sendiri. But instead of admit that the problem is us, we choose the easier way: put the blame on others.

Bersyukurlah jika kita berhasil menyadari dan mengenali segala kekurangan kita, dengan legowo mengakuinya, serta berusaha untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Tanpa harus menghilangkannya sepenuhnya.

Dan terkadang, kita memerlukan bantuan orang lain untuk mengetahuinya. Seperti halnya kotoran yang menempel di wajah, yang seringkali tidak disadari jika kita tidak bercermin.

Jadi jangan denial dan defensif dulu ketika ada yang menunjukkan kekurangan-kekurangan kita. They could mean really well. Tidak menginginkan untuk kita melainkan kebaikan.

Hidup adalah tentang perjalanan karakter. Tak pernah ada kata terlambat untuk mengubah apa yang seharusnya bisa diubah. Waktu dan pengalaman hidup (seharusnya) mendewasakan kita.

Apa-apa yang tidak kita sadari saat ini, boleh jadi baru kita sadari 20 tahun lagi. Semakin dewasa, kita semakin sadar bahwa nggak semua hal yang kita perbuat di masa muda itu benar dan patut.

Kita butuh melangkah lebih jauh untuk refleksi diri, muhasabah, dan terus berbenah. Bahwa semakin mendekati titik akhir, kita masih diberi kesempatan untuk menyempurnakan versi diri kita saat ini.

Tak mengapa jika kita terlanjur membuat keputusan yang salah di waktu muda. Times when were young, confused, reckless, and didn’t care about anything. Didn’t aware of the consequences of the mess we made.

Berdamailah dengan diri sendiri, dengan masa lalu. Belajar menerima kenyataan bahwa seringkali kita sendiri yang bermasalah dan problematik, bukan orang lain. Own it and learn from it.

We cannot crawl back to the past and rewrite the history. But we can create a better future by doing the best we can, from to day on. To make sure there will be no regrets await.

It’s never too late to learn. It’s never too late to be a brand new you. It’s never too late to be the best version you can be. As long as there is time. Cause all we need is time, and the willingness to change.

Hanya satu harapan terbesar saat ini, mencapai garis akhir dari perjalanan dengan sebaik-baiknya, bermanfaat bagi banyak manusia lainnya, dan menjalani hidup dengan tenang dan damai sampai saat itu tiba.

Semoga Allah berkenan memudahkan..

~ Cirebon, December 2022.. forget the mistakes, remember the lesson…

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pinterest ]

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.