“We are writers, my love. We don’t cry. We bleed on paper…”
Tak terasa tahun ini genap sudah 10 tahun saya menulis di blog ini. Tepatnya tanggal 1 Mei kemarin. How fast the time flies, masya Allah…
“We are writers, my love. We don’t cry. We bleed on paper…”
Tak terasa tahun ini genap sudah 10 tahun saya menulis di blog ini. Tepatnya tanggal 1 Mei kemarin. How fast the time flies, masya Allah…
Dulu sekali, sebuah pertanyaan sering mampir kepada saya..
“Kak Meut, nggak tertarik nulis fiksi? Trus dibukukan gitu. Kalo udah siap terbit, aku nanti ikutan PO deh.. Hihihi..”
Jawaban saya kala itu..
Malam ini selepas menidurkan anak-anak, gegara browsing tentang sese-thread di Google, saya iseng install Twitter (lagi). Untuk yang kesekian kali. Apa kabar, Twitterland? Long time no see..
Iya, udah lama nggak ngetwit, jadi uninstall aja lah aplikasinya. Daripada ngeberatin hape, kan. Serupa kenangan dan luka lama yang membuat langkah ke depan terasa berat. Eaaaa.
Kadang heran… Apa ya yang membuat sebagian orang merasa berat mencantumkan sumber ketika mengutip/menukil/menyalin hasil desain/tulisan orang lain? Apa yang menghalangi mereka untuk sekadar jujur dan amanah menisbatkan sesuatu kepada pemiliknya?
Being a writer is almost every reader’s dream. But to be honest, that dream definitely wasn’t mine 😁
Waktu kecil, saya sangat suka membaca, tapi tak suka menulis. Saya pernah dikirim sekolah ikut kejuaraan mengarang tingkat kecamatan, dan kalah di seleksi awal.
Dari awal saya ngotot tidak mau ikut karena saya sadar kemampuan menulis saya sangat buruk. Saat itu saya dipasangkan dengan teman sekelas yang menurut saya jago dalam mapel bahasa sedang saya unggul di bidang IPA. Tapi ternyata guru punya kebijakan lain.