Grief: The Price We Pay for Love

Have you ever been deeply in love?

Have you ever been getting too attached with someone or something?

Have you experienced a loss which no words will ever suffice?

Siang ini ketika scroll-scroll Pinterest, (as usual) saya menemukan sebuah kutipan yang setelah direnungkan, sangat dalam maknanya. Here is the quote:

“So it’s true when all is said and done, grief is the price we pay for love.” -E.A. Bucchianeri

Kesedihan adalah harga yang harus kita bayar untuk sebentuk rasa cinta, begitu kira-kira artinya. Pertama baca kutipan ini tuh rasanya duh, makjleb. Seperti kebanjiran fakta tertampar realita.

And suddenly, I’m just feeling blue..

Dunia dan seisinya, termasuk kita dan hal-hal yang kita cintai, semuanya fana, tak kekal. Dan ketika kita memutuskan untuk mencintai sesuatu yang fana, maka satu hal yang tak dapat terelakkan adalah: perpisahan.

Ada yang bilang, jika kita memutuskan untuk mencintai, maka bersiaplah untuk berpisah suatu hari nanti. Karena tak ada yang abadi, everything has its own expiration date.

Euforia, rasa bahagia yang meluap-luap ketika kita jatuh cinta or having a precious relationship with someone special.. Rasa-rasanya begitu indah, bahkan terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Tapi tak ada yang bertahan selamanya di dunia ini, bukan? Bahkan kebersamaan yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya, dapat berakhir jika batas waktunya telah tiba.

Perpisahan, kehilangan, kematian. Hal-hal tak terelakkan yang pasti harus terjadi. Mau tidak mau, siap tidak siap.

It feels heavy, doesn’t it? The price we must pay for love.

Perpisahan, membayangkannya saja sungguh terasa berat. Separation means a part, a beautiful part of our life is finally over. Nothing left but some memories.

Saying goodbye is hard. Parting ways with people once mean a lot to us is hard. Accepting the reality that there will be days or moments we could never share again with them is hard.

No matter how long someone or something has been a part of our lives, when the time has come.. We will not have any other choice but accept it and let it go.

The fear of getting left behind is real.

Kadang hanya membayangkan ditinggalkan oleh orang-orang yang saya sayangi, mampu membuat saya menitikkan air mata. Seketika ada rasa sesak yang memenuhi dada.

Terlebih membayangkan ditinggalkan kedua orang tua. Thinking about it feels like agony to me. I never have an idea about how to deal with that reality, or how to endure such unbearable pain.

Meski sadar sepenuhnya bahwa kita adalah milik Allah dan akan kembali kepada Allah.. Namun berduka dan menangis ketika berpisah adalah fitrah, sesuatu yang sangat manusiawi.

Bukankah Rasulullaah (ﷺ) sangat bersedih dan meneteskan air mata ketika ditinggal Ibrahim, putra tercintanya untuk selama-lamanya?

Namun karena keteguhan imannya, beliau menahan diri dari melakukan sesuatu yang mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, seperti meratap dan mengingkari takdir.

Beliau berkata ketika Ibrahim meninggal,

ﺇﻥَّ ﺍﻟﻌَﻴْﻦَ ﺗَﺪْﻣَﻊُ ﻭﺍﻟﻘَﻠﺐ ﻳَﺤْﺰﻥُ ، ﻭَﻻَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﻳُﺮْﺿِﻲ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ، ﻭَﺇﻧَّﺎ ﻟِﻔِﺮَﺍﻗِﻚَ ﻳَﺎ ﺇﺑﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻟَﻤَﺤﺰُﻭﻧُﻮﻥَ

“Sungguh mata menangis dan hati bersedih, akan tetapi tidak kita ucapkan kecuali yang diridhai oleh Allah, dan sungguh kami sangat bersedih berpisah denganmu wahai Ibrahim”. (HR. Al-Bukhari no. 1303 via muslimafiyah)

Ketika hati bersedih, menangislah. Lepaskan segenap emosi yang telah lama mengendap di dalam jiwa. Nikmati luka dan rasa sakit itu, sampai semuanya mereda dengan berlalunya waktu.

Bersyukurlah bahwa Allah menciptakan manusia lengkap dengan sifat “lupa”. Bayangkan jika tak ada kata “lupa”. Semua rasa sakit yang pernah kita alami, tak akan pernah pergi dan menghilang.

Kita akan sulit untuk memaafkan karena tak pernah lupa akan kepedihan yang pernah kita rasakan. Kita akan terus hidup dalam dendam karena dihantui luka masa lalu yang tak kunjung sembuh.

Somesay, healing takes time. It also requires effort and willingness to accept the qadr and move forward.

It’s okay to be sad and cry about things that mattered to us. It’s okay to spend some alone time to figure out everything about life. It’s okay to open up to someone about a wound that still hasn’t healed yet.

Hakikat hidup adalah tentang kedatangan dan kepergian, perjumpaan dan perpisahan. Barangsiapa yang berjumpa, maka bersiap-siaplah untuk berpisah.

Dunia dan seisinya ini fana, sementara, tak ada yang kekal. Kebersamaan abadi hanya ada di kehidupan setelah mati. Maka, bersiap-siaplah untuk berpulang.

Semoga kelak Allah berkenan mengumpulkan kita kembali di surgaNya, bersama mereka yang kita cintai di dunia yang fana ini.

Tempat di mana tidak ada lagi perpisahan, kesedihan, dan rasa sakit karena meninggalkan dan ditinggalkan.

Tempat di mana kita menambatkan harapan setelah semua ujian hidup dan kepedihan datang silih berganti.

Tempat kita beristirahat dari segala kepenatan dunia yang melelahkan…

“Jannah is a place where you can be together with the ones you love, even those who can’t always be with you in this dunya. And being with them forever…”

~ Cirebon, January 2023.. the lost is immeasurable, but so is the love left behind..

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pinterest ]

2 thoughts on “Grief: The Price We Pay for Love

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.