A City Full of Dreams

“Jalan macet di Jakarta tak pernah menyisakan sedikit pun udara. Tak bisa bergerak, sekaligus tak bisa bernapas. Dan sang waktu mengepakkan sayapnya tanpa peduli. Meski telah menyengsarakan, karena membuat semua orang selalu terburu-buru. Membuat semua orang saling mengalahkan untuk menjadi yang lebih cepat.” Andrei Aksana

Pagi ini ketika scroll-scroll timeline Twitter, nemu tweet dari @txtdrjkt yang cukup menarik berikut ini..

“Ngeliat rutinitas harian anak Jabodetabek yang pergi pagi buta dan pulang malem banget, semakin yakin kalo Jakarta is not for everyone.”

Sebagai ex Jakarta citizen yang prefer slow living daripada hustle culture, I just couldn’t agree more.

Yang lahir dan besar di Jakarta, spending more than 35 years of her life there.

Yang udah terbiasa dengan kemacetan yang (makin) menggila.

Yang dari jaman SMP udah nempuh jarak total 16 km PP by angkot + jalan kaki.

And here I am udah di titik lelah…

Makin bertambah usia makin menghargai arti ketenangan dan kedamaian dalam hidup. Udah capek rasanya berlomba ini dan itu. Kalau orang lain bisa, kenapa harus saya? Hahahaha.

Yang penting bisa hidup dengan cukup, ibadah dengan tenang, lebih dekat dengan alam, plus dikelilingi oleh orang-orang baik, tulus, dan anti drama-drama club.

My recent goals are hidup tentram dalam keheningan, jauh dari segala keriuhan. Pengennya santai dan nggak dikejar-kejar waktu karena umur abis di jalan (baca: macet) 🥲

Bayangin aja, di Jakarta, di area sibuk dan jam-jam rawan macet, jarak yang normalnya ditempuh selama 30 menit, bisa molor jadi 60 menit jika kamu beruntung. Kalau kurang beruntung ya paling jadi 90 menit atau lebih 😁

Dan ini rutinitas setiap hari kecuali weekend. Bahkan jaman saya sering belanja kain ke Brotherland alias Tenabang, keluar gedung jam 5 sore sampai rumah jam 7 malam aja udah alhamdulillaah banget. Kadang jam 8 baru sampai.

Padahal itu hari Sabtu, lho. Kebayang kan weekdays kayak apa? Yang semua orang keluar buat kerja dan sekolah. Pokoknya turun dari kendaraan udah berasa pengen pelukan sama guling dan kasur 😂

Anter jemput anak sekolah masih ketemu lagi sama si macet. Keluar jalan besar aja udah macet, nyampe gerbang sekolah ada penumpukan kendaraan antara yang mau masuk dan keluar.

Emak yang sutris sampai rumah langsung pengen hiling jajan bakso, mie ayam, cilok dan kawan-kawannya. Wkwkwk.

Teman saya yang tinggalnya di Jatiasih dan berkantor di SCBD Sudirman, lebih memilih berangkat pagi setelah Subuh untuk menghindari macet. Sesampainya di parkiran kantor, lanjut tidur di mobil karena masih ngantuk 😄

Macet. Salah satu hal yang paling nggak ngangenin buat saya dari Jakarta. Istilah tua di jalan itu ada benarnya. Dan makin lama tingkat kemacetannya makin parah.

But that’s the heavy price of living in the big capital city as Jakarta, right? Sebuah harga (mahal) yang harus dibayar untuk sebuah privilege tinggal di kota besar.

Bahkan waktu pekan kemarin saya mudik ke Jakarta, udah nggak ada perasaan yang gimana gitu. Udah biasa aja. Ya pastilah kangen sama keluarga, tapi nggak kangen pengen balik lagi tinggal di sana 😅

Mindset yang udah tertanam ya that city is not where I belong anymore..

Tempat saya sudah bukan di sana. Rumah, hidup, jiwa, dan masa depan saya (insya Allah) ada di sini, the city I’m currently living in.

Yes, Jakarta is not for everyone. Tapi bagi sebagian (besar) orang, that city means everything. As it was to me before. My beloved hometown.

Jakarta is a city full of dreams. Kota di mana banyak cita-cita dan harapan ditambatkan. Kota yang menjanjikan banyak mimpi dan pencapaian. A city that never sleeps, they said.

Deretan gedung-gedung megah pencakar langit, yang sulit ditemukan di kota manapun di negeri ini. Taman dan area hijau yang indah di tiap sudut kota. Kota metropolitan dengan fasilitas terlengkap dan sistem transportasi yang terus bertumbuh menjadi lebih baik.

Try yourself driving to downtown Jakarta late at night, under those sparkling city lights. Ugh, that feeling is beyond words. You’ll be mesmerized by its aesthetic night view. Especially when accompanied by someone who means a lot to you.

Tapi bukankah segala sesuatu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing? This is life. We just can’t have it all, can we?

Di tengah riuh ramainya kota ini, banyak mimpi dan harapan yang musnah tergerus realita. Banyak prinsip dan idealisme yang harus terkubur hanya untuk sekadar bertahan hidup.

Yes, surviving. It’s not easy to earn a living in a big city like Jakarta. Peluang memang banyak, tapi jumlah kompetitor juga tak kalah banyak. Dan selain stay alive, bisa stay sane alias tetap waras aja udah alhamdulillaah.

Terlebih bagi para pejuang nafkah yang masih menggantungkan ikhtiarnya di sana. Yang mau nggak mau, suka nggak suka, harus berjuang melawan kerasnya kehidupan (soon to be) mantan ibukota.

To all tough Jakartans out there, keep on fighting! You can do this, you can survive! Biidznillaah ❤

~ Cirebon, October 2023.. there is no solitude in the world like that of the big city.

© AISYAFRA.WORDPRESS.COM

[ image source: Pinterest & Pinterest ]

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.