Privasi, Hidup Tanpa Rahasia dan Diary Bergembok

2017 baru saja berlalu. Banyak hal-hal penting yang terjadi dalam lembar kehidupan saya. Banyak hal-hal besar dan kecil yang memiliki tempat spesial di hati saya. Banyak pula pelajaran hidup yang saya dapatkan, baik yang saya alami sendiri, maupun saya amati dari pengalaman orang lain. Salah satu di antaranya adalah soal menjaga privacy.

To be honest, bagi saya privacy itu segalanya. Saya nggak bisa membayangkan hidup tanpa privacy dan kebebasan untuk jadi diri sendiri. Being in the spotlight is totally exhausting. Apa-apa jadi sorotan, bahkan sampai hal yang paling sepele pun tak luput jadi bahan pembicaraan.

Coba bayangkan, tiap orang tahu sekecil apapun detil kehidupan kita. Kapan kita bangun pagi, sarapan dengan menu apa, pergi ke kantor naik apa, makan siang dengan siapa, sampai obrolan dengan rekan sekerja di sela-sela waktu rehat.

Don’t you get annoyed when people know that? Kalo saya sih jujur aja merasa terganggu, nggak tahu kalo mas Anang.

Sadly, kini bukan mereka yang sengaja mengorek-ngorek kehidupan kita. Tapi kita sendiri yang dengan senang hati memperlihatkannya pada mereka. Mereka bahkan tidak pernah bertanya, tapi justru kita yang menyerahkan kunci jawabannya.

Apa yang kita lakukan dari mulai melek mata sampai merem lagi, mood yang kita rasakan sepanjang hari, konflik dengan pasangan atau keluarga, bahkan hal-hal memalukan yang sifatnya aib dan rahasia, tak luput dari jari jemari kita untuk mempublishnya.

Saya jadi ingat jaman dulu, di mana kita tidak mudah mengumbar perasaan dan isi hati pada sembarang orang. Sebagian dari kita bahkan punya diary bergembok.

Mengapa? Agar tidak ada orang lain yang membaca dan mengetahui apa yang kita rasakan. Apakah mungkin kita menuliskan hal yang sifatnya rahasia di sebuah diary, lalu dengan sengaja meletakkan diary itu di sembarang tempat yang bisa dilihat oleh siapa saja?

“Lalu, apa dong yang mau diposting di sosial media kalo bukan kehidupan kita sendiri? Masa mau posting kehidupan orang lain? Trus apa gunanya sosial media kalo bukan untuk sharing?”

Lemme tell you this darling, in this social media era, people tend to lose their own privacy. Less and less privacy, every year. Sah-sah aja posting dan sharing di sosial media, tapi ada baiknya kita dapat cermat memilah: mana yang pantas diposting dan mana yang tidak.

Misalnya, posting kemesraan berlebihan dengan pasangan, sampai melampirkan SS chat mesra yang sama sekali tidak ada faedahnya bagi orang lain. Kalo istilah jaman now, so unfaedah. Boro-boro envy, yang ada malah geli. Kok begitu aja pakai diposting, konsisten lagi postingnya tiap hari 😂

Pas lagi mesra posting yang serba romantissss melulu, seolah dunia milik berdua, yang lain ngontrak. Nah pas lagi berantem, meluncurlah postingan penuh kode yang mengundang asumsi dan kekepoan orang banyak.

Sering saya mendapati para selebgram dan seleb efbe yang rajin banget update soal hubungan mereka dengan pasangan. Sampai hal-hal pribadi yang tidak seharusnya jadi konsumsi publik pun, kerap dijadikan bahan obrolan.

Nah pas lagi ribut, cekcok, tiba-tiba semua foto-foto mesranya menghilang, bahkan saling unfollow satu sama lain. Nggak lama, baikan lagi, saling follow lagi, posting kemesraan lagi seolah-olah nothing happened before. Oh, how can we not confuse? 😅

Bahkan jaman sekarang ini, mau tahu soal hubungan si A, B, C, D.. Tinggal cek aja sosmednya. Siapa aja yang difollow, apakah yang diposting si Ani sinkron dengan si Anu, lagi nyinyirin siapakah gerangan di IG story..

Netijen yang ‘budiman’ pasti bisa menarik benang merah dari apa yang diposting, meski ditambahi berbagai macam bumbu biar lebih sedap.. Apalagi kalo udah dishare sama akun hossip. Siap-siap aja dijudge macem-macem.

Let’s think about it for a while…

Risih nggak sih kehidupan kita jadi tontonan banyak orang? Berasa jadi badut yang ditertawakan lantaran blunder yang sengaja/tak sengaja kita perlihatkan.

Ketika kita hobi banget curhat di sosmed, dikit-dikit ngeluh, apa-apa baper.. Alih-alih diberi solusi dan simpati, yang ada malah disoraki dan dijadikan bahan candaan.

Atas dasar inilah saya mengunci hampir semua akun sosmed dan tidak sembarangan menerima permintaan pertemanan dengan mereka yang tidak saya kenal di dunia nyata. Bahkan saya pernah mereject friend requests dari mereka yang saya kenal betul di dunia nyata, tapi saya tidak menyukainya.

It’s my right to choose whom I share a tiny detail of my life with, isn’t it?

Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, saya juga lebih selektif dan berhati-hati dalam memposting sesuatu. Yang sifatnya sangat sangat pribadi, bahkan menyangkut rahasia orang lain, saya keep untuk diri sendiri. No one has to know, and I don’t have to show, either.

Apa yang saya perlihatkan di sosial media hanyalah sepersekian dari apa yang saya alami di kehidupan nyata. Aslinya, banyak hal-hal yang sengaja tidak saya publish dan cukup disimpan sendiri. So if you think you really know me based on what I post on my social media and blog.. Well, you should think again 😊

Saya jadi teringat kembali akan artikel di sebuah web yang berjudul kurang lebih: “Apakah hidup kita bagaikan buku yang terbuka?”

Buku yang terbuka di sini bermakna kehidupan yang bebas “dibaca” oleh siapa saja. Segala lika liku dan rutinitas harian kita, bisa dilihat oleh semua orang. Seolah batas antara ruang publik dan ruang pribadi menjadi blur, sebelum akhirnya menghilang.

Kita menjadi pribadi yang mudah dibaca dan diprediksi oleh semua orang. Pribadi tanpa rahasia. Nothing mysterious. Tiap orang tahu seluk beluk kehidupan kita. Baik yang berteman dengan kita atau tidak, maupun yang benar-benar peduli atau cuma kepo belaka.

Selain alasan privacy, alasan lain yang tak kalah penting adalah soal keamanan. Sebagian dari kita, setiap saat membagikan informasi rutinitas harian kita, apa yang kita rasakan, orang-orang yang kita cintai, tempat-tempat yang kita kunjungi di tengah-tengah sekumpulan orang asing, yang bahkan kita tidak pernah tahu siapa aslinya mereka.

Seakan tiap detil hidup kita bagaikan ruang terbuka, tak ada rahasia, siapa saja bisa dan berhak untuk tahu isi di dalamnya. A lil bit of creepy, isn’t it? 😦

Sharing is okay, oversharing is not. Nggak semua yang kita alami dan rasakan, semua orang, bahkan seluruh dunia harus tahu. Banyak hal-hal yang cukup kita dan orang-orang terdekat saja yang tahu.

There are things we better keep only for ourselves.

There are moments we better really live and enjoy than being exposed and showed to others.

There are places where we better choose to lay low and stay under the radar.

There are secrets that better remain secrets.

Jika dahulu kala kita pernah alay, lebay, segala apa aja dishare (well, siapa sih yang enggak? apalagi pas baru kenal sosmed).. Sekaranglah saatnya untuk memperbaiki diri. Tak ada kata terlambat untuk berubah. Jangan jadikan episode kehidupan kita sebagai panggung terbuka yang ditonton oleh banyak orang.

Your life is precious and worth living. Own your journey, every inch of it. Don’t put it on display so people can judge from their point of views. It’s yours, so value it, keep it safe, and lock it away from people.

In the end.. There is a question can only be answered upon reflection…

“Apakah hidup kita bagaikan buku yang terbuka di sebuah ruang publik yang bisa dibaca oleh siapa saja…

Ataukah diary bergembok penuh rahasia yang tidak dapat dilihat kecuali oleh sang pemilik dan mereka yang diizinkan untuk membacanya?”

I just remember this beautiful phrases…

“She was like the moon—part of her was always hidden away…”

~ Jakarta, on the first morning of 2018.. a private life, is a happy life 🙂

© aisyafra.wordpress.com

[ image source: Pinterest ]

4 thoughts on “Privasi, Hidup Tanpa Rahasia dan Diary Bergembok

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.