“Pertama kali kau menyapaku. Tanpa suara. Tetapi sangat asih. Dari diriku yang paling dalam. Disini. Ibu. Aku di sini.” (Rene Van DeCarr)
Menjadi Ibu.
Bagi jiwa perempuan penuh kasih adalah mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta dan asahan rasa. Ia mencahaya dalam jiwa. Seruak cita itu adalah fitrah terindah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan, rasa, kemuliaan! Ibu! Mulia dengan tapak kaki juangnya. Sebab tak seorang pria pun termuliakan begitu tinggi. Demi Allah, tak seorang lelaki jua. Hanya Ibu.
Ibu! Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di lubuk rasa setiap wanita. Ia menggeletarkan cinta. Ada imaji surgawi dan gairah hayat menggelora tiap kali kata tiga huruf itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil nan sambut kehadiran.
Ibu.. madrasah cantik, tempat anak-anak pertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ibu. Dia dermaga nan paling tenang tuk melabuh hati saat mereka merasa teraniaya. Dia belai paling menenteramkan saat mereka gelisah.
Ibu.. dia dekapan paling memberi rasa aman saat ketakutan. Dia bahu paling kukuh untuk merebah, bertahan dari amuk badai kesedihan. Dia perpustakaan terlengkap, kelas ternyaman, gelanggang terlapang. Tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tanpa nyawa.
Ibu.. panggilan yang meneguhkan keutamaan, diulangkan, didahulukan. Sang Rasul sebut Ibumu tiga kali di depan, ayahmu menyusul kemudian. Ibu, panggilan perjuangan. Cantik nian senyumnya walau pegal bawa kandungan, susah memilih baringan, bengkak kaki dan mual tak tertahan.
Ibu.. panggilan kepahlawanan. Seribu sakit berhimpun, tulang berlolosan, syaraf tercabik, robekan pedih, darah bersimbah. Lalu senyum. Ibu, degub jantungnya menenangkan saat kita didekap mesra, dia relakan jiwa raganya diserap untuk memberi hidup pada makhluq nan baru.
Ada pemuda nan berbakti pada Ibunya di masa ‘Umar. Dia menyuapi, mengipas lalat, mengelap peluh, memandikan, urus segala hajat kekotoran. Pemuda itu menggendong Ibunya sepanjang jalan. Tiap henti, dia merangkak lengkungkan badan lindungi sang ibu dari mentari dan terpaan hujan.
“Cukupkah ini untuk membalas segala kebaikan Ibu di waktu kecilku?”, tanyanya. “Tidak, sama sekali tidak!”, jawab ‘Umar.
“Sebab Ibu-mu dulu lakukan semua itu sambil mendo’a bagi kehidupanmu. Sementara engkau kini melakukannya sembari menanti kematiannya.”
Ibu.. ada wanita yang kini enggan menjadi kata itu. Maka kemuliaan pun enggan menyapa, seirama anggapan bahwa anak adalah belenggu. Ibu.. Ketika kata itu dianggap neraka atau penjara, mereka tertuntun memasuki jerat kesendirian yang menuakan, menghampakan, mematikan.
Ibu.. Ketika kata itu diabaikan, ia enggan menyediakan dermaga tempat para wanita menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan. Mungkin memang tak sederhana. Sebab menjadi Ibu adalah anugerah yang tak semua meraih agungnya. Bahkan imanpun, tak bisa menjaminkan.
Sebagaimana Aisyah Radliyallaahu ‘anha. Dia ummul mukminin, Ibu dari semua orang beriman. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang? Tidak. Aisyah tak diberi Allah luap rasa yang melekati hakikat kata Ibu itu. Tapi rindu dan sabar hati adalah jua kesempatan berpahala.
Di lain sosok, kegelisahan, kecemasan, malu dan pilu hati jika panggilan Ibu itu tak segera hadir adalah ujian lain yang menyesakkan. Alasan kesehatan, gangguan organ, serangan kuman, usia rawan persalinan, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian jadi Ibu.
Allah menjawab doa hambaNya.. istri Ibrahim dengan si shalih Ishaq, istri Imran dengan si suci Maryam, istri Zakariya dengan si alim Yahya. Alaihimussalam. Mereka rayakan syukur karunia setelah penantian panjang, tubuh nan uzur, uban memutih, doa menghiba, dan rasa yang tersembilu.
Menjadi Ibu.. kadang jua ujian yang membuat teragukannya suci dan ibadah nan terjaga, seperti dialami Maryam ibunda Isa. Begitulah kurnia besar nan disyukuri, Isa nan tiada duanya, selalu jua merupakan ujian besar yang harus disabari oleh Ibunya.
Menjadi Ibu.. melahirkan ataupun tidak, ba’da ikhtiar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling pasrah, adalah kemuliaan utuh.
Menjadi Ibu hakiki.. Agar bidadari cemburu padamu. Terfahamlah kita, kau takkan tersaingi oleh jelita surgawi itu selama-lamanya…. 🙂
~ Dari kultwit Salim A. Fillah dengan tagar #Ibu.
*Can’t resist my tears while typing this…
©aisyafra.wordpress.com
[ image source: FlickR ]
Reblogged this on My lovely life.
LikeLike
Reblogged this on Amizarra.
LikeLike