Saat Memberi Saat Tidak

Children holding heartsymbol

Pagi ini ketika berselancar di linimasa Facebook, saya menemukan sebuah tulisan yang sangat menggugah karya Ustadz Mohammad Fauzil Adhim berikut ini:

“Seorang ibu memasuki minimarket bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Saya tidak memperhatikan dengan baik. Yang satu, kira-kira kelas 4 SD. Satu lagi mungkin TK atau SD kelas 1. Begitu masuk, ibu tersebut segera mengucapkan dua kata, “Nggak… Nggak….” sebagai isyarat larangan beli bagi kedua anaknya yang langsung berbelok ke tempat es krim.

Anaknya yang kecil segera menunjukkan reaksi spontan, hanya sepersekian detik (barangkali tidak sampai satu detik) dari kata “nggak” yang terakhir diucapkan ibunya, dengan menangis keras; melengking, memaksa….

Tak perlu waktu lama bagi anak itu untuk menangis. Ibunya segera memberi reward untuk tindakan anak mempermalukan orangtua. Ia mempersilakan anaknya mengambil es krim. Hampir saja tangisan kedua pecah ketika memilihkan es krim yang lebih murah dibanding pilihan anak. Tetapi tangisan itu segera berubah menjadi perayaan kemenangan yang ditunjukkan kepada kakaknya, “Dibeliin toh, Mbak….”

Sebuah tragedi yang sempurna.

Saya keluar dari mini market dengan hati galau; gelisah membayangkan perilaku kedua anak tersebut di masa-masa yang akan datang. Berapa banyak ia belajar menerima hadiah dan penguat untuk setiap tindakannya mengamuk, memaksa, menangis keras untuk membuat orangtua tak berkutik, atau tindakan lainnya yang bersifat mempermalukan orangtua demi meraih apa yang diinginkan. Berapa banyak perilaku serupa yang ditunjukkan anak ketika ia tidak mau mengikuti aturan maupun anjuran orangtua.

Betapa kita perlu ilmu dalam mendidik anak. Betapa kita perlu kesabaran dan mendahulukan yang lebih penting daripada sekedar gengsi maupun ketenangan sesaat.”

Saya pernah bertemu dengan tipe orangtua seperti ini. Apapun permintaan anak, meski terkadang berlebihan dan tidak masuk akal, dikabulkan. Harus saat ini dan tidak ada kompromi. Pokoknya harus, harus, harus!

Suatu waktu beliau curhat ke saya tentang kebiasaan anaknya yang lama-lama, semakin tidak terkendali. Uang jajan membengkak, aksi protesnya yang makin tidak dapat ditolerir sampai kesabaran sang orang tua yang makin lama makin menipis.

Saya biarkan ia bercerita sampai tuntas. Kemudian balik bertanya..

“Maaf, mbak.. Apa selama ini setiap si kecil minta sesuatu selalu diluluskan dan dituruti?”

“Iya, mbak..”

“Boleh tau kenapa, Mbak?”

“Habis kalo nggak dikasih nanti nangis ngerengek terus, Mbak. Aku pusing dengernya.. Yo wes lah tak kasih aja..”

“Pernah dicoba untuk nggak nurutin permintaannya?”

“Pernah, Mbak. Nangis terus, teriak-teriak. Malu sama tetangga..”

“Udah lama, Mbak seperti ini? Apa baru-baru aja?”

“Ya dari dulu sih, Mbak..”

“Oh, begitu ya Mbak.. Maaf, sekadar sharing aja.. Anakku juga suka ngerengek kalo minta sesuatu dan nggak dikasih. Ya teriak-teriak juga. Tapi , sedari awal aku udah bikin kesepakatan sama anak..”

“Kesepakatan gimana, Mbak?”

“Ya misalnya mau pergi ke toko buku atau toko mainan, kami udah bikin agreement, kalo nanti yang dibeli hanya yang ada dalam list aja. Kalo mau beli yang lain, perlu dibicarakan lagi. Dan tidak meminta sesuatu di luar list. Kalo udah sepakat, oke, berangkat.

Jadi mereka udah tahu, kalo nanti nggak boleh minta macem-macem karena sudah bikin kesepakatan lebih dulu di rumah. Jika kesepakatan itu dilanggar, ada konsekuensi.

Namanya anak-anak, pasti mengeluarkan ‘senjata’ andalan mereka kalo keinginannya nggak dituruti. Tapi saya berjanji untuk tidak akan luluh dengan segala macam aksi mereka. Negosiasi boleh, tapi tidak memaksa harus dikabulkan.

‘Ayo, kan kita udah sepakat di rumah, beli yang ini dan ini aja. Kalo minta yang lain, uangnya dari mana? Kalo mau beli yang itu, abang atau kakak harus nabung dulu.. Karena uang yang ada saat ini tidak cukup. Atau mau tukar dengan yang ada dalam list?’

Tentu mereka tidak mudah menyerah begitu saja. Manyun, ngambek, sampai aksi mogok dilakukan. Nah, di sini kesabaran kita sebagai orangtua, diuji. Bahkan kadang malah saya bilang,

‘Oh, kakak atau abang mau marah? Mau guling-guling? Mau teriak-teriak? Silakan.. Ummi tetap nggak akan beliin, karena kita udah sepakat kan sebelum berangkat mau beli apa aja. Oh ya, Ummi udah selesai nih belanjanya. Mau pulang. Yang mau ikut pulang, ayo bersikap baik. Apalagi di tempat umum. Oke?’

Sambil saya tinggal pergi.

Meski tidak mengatakan apa-apa, teman saya itu tertawa. I hope things are better now for her 🙂

There must be a first time for everything.

Saat pertama bukanlah hal yang mudah. Pasti butuh waktu, kesabaran dan konsistensi untuk mengatasi momen-momen di mana mereka cranky dan susah diajak kompromi seperti umumnya anak-anak jika sudah ingin sesuatu. Tapi selalu menuruti apapun permintaan mereka, bukanlah jalan keluar.

Orangtua saya dulu tipe yang menerapkan pola asuh strict dan tegas. Ummi bilang tidak, ya tidak. Secara tidak langsung saya mengadopsi pola asuh mereka walau tidak seluruhnya. Di antara efek positif pola asuh yang tegas, adalah membentuk kami menjadi pribadi yang disiplin dan taat pada aturan.

Tapi, saya rasa, anak juga memiliki hak untuk bersuara. Memiliki hak untuk memutuskan sesuatu. Memiliki hak untuk dimintai pendapat, didengar dan dihargai masukannya selayaknya manusia.

Bangun komunikasi yang baik dengan anak.

Semakin lama menjadi orangtua, semakin banyak buku yang saya baca, semakin sering saya menghadiri seminar-seminar parenting, semakin sadar bahwa ilmu dalam mendidik anak itu sangat penting. Dan makin sadar bahwa ilmu yang saya dan pasangan miliki, masih sangat minim. Hiks.

Menjadi orangtua bukan hanya soal mengandung dan melahirkan anak, memenuhi kebutuhan  sandang pangan papan mereka, memilihkan dan membiayai pendidikan mereka, mengantarkan mereka memasuki dunia kerja kemudian pernikahan dan selanjutnya.

Jadi orangtua itu perlu ilmu khusus. Ilmu yang mungkin tidak kita dapatkan di bangku sekolah. Being a parent is not just, well, having children then raise them. It’s much more complicated and difficult than that.

Membangun komunikasi yang baik dalam hubungan orang tua-anak adalah tantangan tersendiri dalam dunia parenting. It’s not always smooth, you know. Sometimes it’s just about you and your children. Berbagai teori mendidik anakterkadang terlupa begitu saja ketika kita sudah dihadapkan pada keadaan yang sulit.

Yes, it’s never smooth and easy. And who said it was easy, anyway? 😀

Termasuk soal kemampuan untuk mengatakan “ya” dan “tidak” pada anak seperti contoh yang dipaparkan di atas. Pilih anak meraung-raung sementara kita tetap pada prinsip, atau menuruti keinginan mereka supaya situasi kembali aman terkendali, walau hanya sementara?

Panjangin sumbunya, Tambah stok sabarnya!

Satu joke dalam dunia emak-emak yang kerap kali saya dengar adalah..

“Ada yang jualan stok sabar nggak yaa.. lagi butuh banget nih..”  XD

Ah, I need it, too! Seandainya sabar bisa dibeli dengan uang.. tentu surga dapat diraih dengan mudah. Begitu juga dengan perjalanan kita sebagai orangtua. Yang memerlukan stok sabar dan ilmu yang sangat banyak 😀

Beliau menasehatkan kembali dalam note-nya:

“Saya kira, melemahnya kesabaran dan lapang dada dari para ibu inilah persoalan yang lebih patut kita risaukan. Bukan tingkat pendidikan ibu. Banyak ibu yang semakin kesulitan mengekspresikan perasaanya kepada anak, berkurang kesabarannya, dan berpikir instant tentang anak-anaknya, justru mereka yang berlatar belakang pendidikan tinggi.

Sebagaimana ibu tadi, banyak orangtua yang memilih untuk segera memperoleh ketenangan saat itu juga demi dapat tersenyum manis pada tamu, daripada menunggu anak menjadi qurrata a’yun (penyejuk mata) untuk masa-masa berikutnya yang jauh lebih panjang, sejak nafas masih di dada hingga amalan diperhitungkan di Mahkamah Allah. Mereka memilih mudah di awal, tapi tak mempertimbangkan kelanjutan perkembangan anak di masa-masa yang akan datang.”

Kita, mungkin juga saya, seringkali lebih memilih shortcut alias jalan pintas agar anak lekas diam. Yaitu dengan mengabulkan apapun yang mereka minta. Terlebih-lebih ketika mereka ‘beraksi’ di tempat umum.

Tapi.. saya belajar, bahwa ketika anak-anak dibiasakan untuk selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, terlebih-lebih dengan cara melancarkan demo dan aksi ngambek agar kita luluh dan akhirnya, mengalah..

Disadari atau tidak, kita mendidik mereka untuk tumbuh menjadi pribadi yang maunya serba instan. Tidak mau kerja keras, mau gampangnya saja. Tidak mau berjuang demi mewujudkan impiannya.

Tanpa sadar, kita turut serta membentuk generasi pemalas yang tidak sabaran dan enggan menghargai proses. Tidak mau ikut aturan. Hingga akhirnya menghalalkan segala cara agar keinginannya terpenuhi.

Seperti apa yang dialami oleh teman saya tadi. Sedari kecil sudah terbiasa dimanjakan, apa-apa dituruti, hingga akhirnya ketika suatu ketika orangtua mengatakan “tidak”, ia tidak bisa menerima begitu saja.

Ketika temannya punya barang baru yang ia anggap bagus, langsung merengek ke orangtuanya agar dibelikan barang yang sama persis. Saat ini juga, tidak boleh tidak. Selama belum terpenuhi, ia akan menangis dan merengek terus menerus, sampai orangtuanya akhirnya mengalah dan.. kalah.

Lanjutan nasehat beliau dalam note di atas:

“Akan tetapi, ada saat-saat dimana orangtua perlu mengekang dan tidak menuruti permintaan anak agar ia dapat belajar menahan diri dari berbagai keinginan yang tidak penting. Juga, agar anak dapat belajar menetapkan skala prioritas kebutuhan yang perlu segera dipenuhi.”

Build the best inner childhood within them.

Tidak selamanya kita selalu ada untuk anak tercinta. Ada saat di mana mereka harus kita lepas menjadi pribadi mandiri yang tidak tergantung pada orang lain. Maka biarkan mereka mandiri sejak kecil, beri mereka tanggungjawab, tunjukkan bahwa segala sesuatu dalam hidup, butuh untuk diperjuangkan.

Sudahkah kita persiapkan mereka untuk berdiri kokoh di atas kaki sendiri, menghadapi dunia dengan segala rintangan yang menghadang?

Atau kita secara tidak sadar mendidik mereka menjadi pribadi yang maunya serba instan?

Pernah dengar berita remaja yang nekat bunuh diri karena permintaannya untuk dibelikan smartphone tidak dipenuhi orangtuanya?

Atau remaja yang nekat membunuh orangtua kandungnya lantaran permintaannya untuk dibelikan sepeda motor tidak dipenuhi?

Atau remaja putri yang rela bobok-bobok cantik dengan oknum guru atau dosen agar mendapat nilai A dalam ujian?

Atau gadis-gadis belasan tahun yang dengan enteng menjajakan dirinya di mall demi bisa beli barang-barang branded?

Saya pernah. Dan amat miris menemukan bahwa inilah realita sebagian kaum muda zaman sekarang. Generasi yang nggak mau susah karena telah terbiasa dengan kemudahan. Tak ragu mencari jalan pintas meski dengan cara yang tidak halal.

Tak peduli etika dan norma agama. Tidak takut Allah. Tidak mementingkan perasaan orangtua dan nama baik keluarga. Bahkan jika jalan yang ia tempuh dihalangi, ia tak segan-segan menyingkirkan penghalang tersebut, meski harus menindas dan menzhalimi orang lain.

Wal’iyadzubillaah.

Tidak pernah ada kata terlambat untuk mengubah pola asuh yang salah. Pasti akan terasa berat pada awalnya, namun jika komitmen kita untuk perbaikan diri dan anak jauh lebih besar, insya Allah segala rintangan akan siap kita hadapi. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan pertolongan.

Demi masa depan yang lebih baik. Semoga.

—Jakarta, on a cold and rainy day, end of February 2016..

© aisyafra.wordpress.com

[ image source: Tumblr ]

9 thoughts on “Saat Memberi Saat Tidak

  1. Iya mbak, setuju sekali sama pemikirannya. Pendidikan dalam rumah pun menurut saja yang jauh lebih penting adalah bagaimana membangun kebiasaan dan suasana yang mendukung.

    Alhamdulillah, saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Ibu selalu memberikan pengertian, mengajak bicara, dst. Sehingga kami anaknya pun insyaAllah mengerti dengan keadaan mereka.

    Waktu saya kecil, malah saya termasuk anak yang jarang minta. Kecuali yang rutin semacam uang jajan harian. Kalau kayak mainan misal mobil-mobilan, justru seringnya ditawari. Misal lagi jalan-jalan dan ada penjual mainan. Biasa kan lihat-lihat, terus mungkin saya terlihat antusias. Biasanya ayah saya yang nawarin, mau beli itu?.

    Satu lagi mbak, orangtua kami juga sering pesan. Ketika kita minta sesuatu misalnya tas, jangan sampai itu mencolok, wah dan semisalnya. Jangan sampai malah membuat teman kita kepingin, terus minta orangtuanya sementara belum tentu orangtuanya bisa belikan. Selalu juga ditekankan, yang penting itu fungsinya dan bukan modelnya (misalnya pas beli tas atau sepatu, termasuk juga beli sepeda).

    Maaf komennya panjang. Hehe 🙂

    Liked by 1 person

    • Masya Allah, barakallaahu fiik.

      Saya sendiri juga dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, dengan gaya hidup yang jauh dari kemewahan, walaupun sebetulnya kami mampu. Sepakat sekali, nilai-nilai yang dianut dalam sebuah keluarga, sangat menentukan pribadi-pribadi manusia yang ada di dalamnya. Education starts from home.

      Betul memang bahwa sederhana itu bukan soal punya atau tidak punya. Sederhana itu gaya hidup yang kita pilih.

      Thanks for your long comment 🙂

      Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.