“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no: 285).
Pernah dengar tentang suami pelit? Suami yang sangat perhitungan dalam segala hal, bahkan dalam hal nafkah untuk anak istrinya. P-e-l-i-t ya, bukan hemat. Karena bagi saya dua hal tersebut sangat jelas berbeda.
Ia bukannya miskin atau tak mampu. Ia mampu, sanggup, berada, tapi sengaja menahan hak orang lain (dalam hal ini anak dan istrinya) karena sifat pelitnya tersebut.
Bukan pula karena sifat istrinya yang boros, jor-joran, tidak bisa mengatur keuangan keluarga, tapi ya memang dasarnya pelit. Sudah tabiat dan sifat yang sangat mendarah daging.
Apa yang dibelanjakan istri, sekecil apapun, harus atas sepengetahuannya. Uang belanja hanya sekadarnya, bahkan seringkali kurang. Hingga kadang sang istri harus tahan malu untuk berhutang. Bahkan terpaksa ikut banting tulang mencari uang tambahan untuk menambal kebutuhan rumah tangga.
Ketika istri dan anak sesekali meminta sedikit saja haknya untuk sekadar jajan, jalan-jalan, makan di luar.. Selalu saja ada alasan untuk menolaknya. Seolah mengeluarkan sedikit dari apa yang ia punya demi menyenangkan keluarga itu terasa amat berat baginya.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (Al Baqarah : 233)
Buat kebutuhan sendiri, royalnya bukan main. Tapi kalo menyangkut anak istri, ah secukupnya aja lah. Kurang juga nggak papa, toh mereka juga nggak bakal berani protes. Udah syukur masih dikasih nafkah. ((Hellooww..? Itu kewajibanmu lho, Pak)).
Jalan-jalan, senang-senang, plesiran, kulineran.. Nggak pernah mikir mau ngajak anak istri. Kalaupun keluarganya diajak, biasanya karena ada event gratisan. Family day dari kantor, misalnya. Mayan kan nggak perlu keluar duit. Lagi-lagi pertimbangannya duit, duit, dan duit.
Sengaja menganggarkan budget khusus buat sekali-kali nyenengin anak istri? Ugh, that would be the most difficult thing. Beban banget rasanya. Biasanya sih ya mau nggak mau alias karena terpaksa.
Let’s think about this…
Jika pada anak dan istrinya saja sangat perhitungan, apatah lagi pada keluarga istrinya. Adakalanya, sang istri seperti harus mengemis ketika meminta izin untuk memberi sesuatu pada keluarganya.
Padahal, suami yang baik adalah yang mendukung istrinya untuk berbuat baik pada keluarganya, bahkan setelah ia menikah dan berkeluarga. Bukan malah menutup pintu birrul walidain istri kepada kedua orangtuanya.
Tipe suami pelit ini biasanya ada dua macam. Pertama, yang medhit bin koretnya totalitas banget. Sama istri, anak, kerabat, rekan kerja, bawahan, adil merata. Pelitnya kongruen; sama dan sebangun ke semua orang. Nggak tebang pilih.
Ada juga yang pelitnya cuma sama orang-orang tertentu aja. Ke istri, anak, atau keluarga. Sedang ke teman, kolega, mitra bisnis, dan mereka yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dibanding dirinya, loyal dan royalnya nggak tanggung-tanggung. Biasa, pencitraan.
Let’s face the reality. Saya seringkali menemukan figur suami pelit ini di kehidupan nyata. Bukan satu atau dua, tapi banyak. Ada yang memang belum paham agama, masih sangat awam. Ada pula yang ngakunya sudah ngaji, sudah tahu ilmunya.. Tapi sorry to say, pelit dan meditnya minta ampun.
Padahal ya…
Suami yang sayang anak istri, nggak pelit dan nggak perhitungan buat keluarga itu, biasanya rezekinya dilapangkan. Selalu ada dan cukup, bahkan dari arah yang tak disangka-sangka. I’ve seen these a lot, too. Masya Allah.
Sebaliknya, laki-laki yang pelit dan sering menzhalimi anak dan istri, biasanya rezekinya disempitkan Allah. Nggak pernah cukup.
Udah banting tulang cari duit kesana kemari, segala job disabet, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, dapetnya ya segitu-gitu aja. Kalaupun berlimpah harta, biasanya nggak berkah. Ada aja cara Allah mengambilnya.
Dalam rezeki seorang suami, ada bagian dari rezeki anak dan istri. Boleh jadi seorang suami sengaja menahan rezeki anak dan istrinya, maka Allah tahan dan sempitkan pula rezekinya dari segala sisi.
“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)
Padahal ya…
Karakter asli seseorang dapat dilihat dari cara ia memperlakukan mereka yang berada di bawahnya, atau menjadi tanggungannya. Dalam hal ini anak, istri, keluarga, bawahan. Terlebih pada keluarganya. Parameter kebaikan seorang lelaki adalah ketika ia berada di rumahnya.
Ada yang sangat santun dan sopan pada orang yang ia hormati, bersikap luar biasa baik terhadap orang yang status sosialnya lebih tinggi. Tapi low attitude dan kasar pada orang-orang seperti pelayan, waiter, dan tukang parkir, simply karena mereka “cuma” pelayan, waiter dan tukang parkir. People with “no benefits”.
You can fake your personality in front of your friends, colleagues, rivals, bosses, working partners. But in your own home with your own family? Or to the people with lower social status? Nah, you can’t wear that mask all the time.
“Bahwa orang yang paling tinggi derajatnya dalam kebaikan dan paling berhak meraih sifat tersebut ialah, orang-orang yang paling baik perilakunya kepada keluarganya. Sebab, keluarga, mereka itu merupakan orang-orang yang paling berhak dengan wajah manis dan cara bergaul yang baik, curahan kebaikan, diusahakan mendapatkan manfaat, dilindungi dari bahaya. Jika ada lelaki yang demikian, niscaya ia berpredikat sebagai manusia yang terbaik. Jika ia bersikap sebaliknya, maka ia berada dalam keburukan. Banyak orang yang terjerumus dalam keteledoran ini.
Anda bisa menyaksikan seorang lelaki, bila ia menjumpai keluarganya, maka menjadi sosok yang akhlaknya buruk, sangat pelit dan sedikit sekali berbuat baik kepada mereka. Tetapi, apabila bersama orang lain, maka engkau akan dihormati, akhlaknya melunak, jiwanya menjadi dermawan, ringan tangan. Tidak diragukan, laki-laki semacam ini adalah manusia yang terhalang dari taufik Allah, menyimpang dari jalan yang lurus. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita dari hal itu”.
( Imam Asy Syaukani, Nailul Authar (6/360) via almanhaj.or.id )
Untuk para suami-suami pelit di luar sana…
Sadarilah bahwa roda kehidupan itu berputar. Boleh jadi saat ini anak dan istri kita, sangat bergantung pada kita dalam hal materi. Namun siapa yang dapat menjamin bahwa kita akan selamanya sehat, kuat, dan tidak bergantung pada orang lain?
Sadarilah bahwa anak dan istri adalah amanah dari Allah, dan kita hanya akan menuai apa yang kita tanam. Bagaimana kita memperlakukan istri dan anak-anak kita saat ini, begitulah mereka akan memperlakukan kita kelak.
Jika sewaktu anak-anakmu kecil engkau sangat abai dalam memperhatikan kesejahteraan mereka, juga sangat perhitungan dan pelit dalam menafkahi mereka.. Maka jangan heran ketika kelak engkau sudah tua renta dan tak berdaya, mereka akan lebih abai dan perhitungan lagi denganmu.
Children see, children do. We only reap what we sow. Remember that life is an echo, what we give comes back to us. And what matters the most is your responsibility to Allah. In this world, and in the afterlife. So, ittaqillaah.
~ Jakarta, while enjoying the sound of the falling rain, October 2018… terinspirasi dari percakapan dengan seorang sahabat siang ini.
© AISYAFRA.WORDPRESS.COM
[ image source: Pinterest ]
[…] Blog Chynatic […]
LikeLike
Masha Allah.. pas sedih.. pas nyari artikel terkait.. pas ketemu tulisan ini..
rasanya kayak semua curhatan aku tumpah disini..
LikeLike
Sending hugs and prayers for you, and women who experience the same feelings.. May Allah reward your sabr with jannah ❤
LikeLike